Artikel
“Syndrom Gamang” Fase Grup Tim Unggulan

Catatan: Axsel Galatang
JERMAN? Francis? Inggris? Spanyol? Belanda? Belgia? Italia? Lalu negara mana lagi di benua biru selain enam negara ini yang kerap menjadi buah bibir dan digilai fans bola sepak seantero jagad? Dalam satu setengah dekade belakangan “ketambahan” Portugal, sejak nama Esebio “menghilang” dan “digantikan” Cristiano Ronaldo.
Setiap ada iven digdaya seperti piala Dunia, negara- negara itulah yang menjadi unggulan, selain dua raksasa Amerika Latin: Brasil dan Argentina. Pun juga demikian adanya pada pesta Euro 2024. Enam negara tersebut sudah dielu-elukan oleh fans seluruh dunia sebagai maskot yang bakal tampil superior terhadap lawan masing-masing.
Sejarah panjang memang mencatat keunggulan negara-negara itu di pentas sepak bola dunia. Betapa pun negara seperti Jerman sudah dua kali terjungkal di fase grup Piala Dunia (Rusia 2018 dan Qatar 2022). Italia lebih parah lagi, dua kali beruntun tersungkur dan gagal menembus putaran piala Dunia 2018 dan 2022. Atau de Oranje Belanda yang keok di babak kualifikasi zone Eropa Piala Dunia 2022 dan harus mengumbur mimpi berlaga di Jepang-Korea. Juga Inggris yang sudah puluhan tahun tak pernah jadi champion baik level Eropa dan Dunia, tetap saja negara-negara itu menjadi idola. Termasuk di pentas Euro 2024 saat ini di Jerman.
Unggulan? Ya! Tapi fakta di lapangan membuktikan, (kecuali Jerman yang tampil memukau dengan menekuk Skotlandia 5 -1, dan Spanyol yang menggulung Kroasia 3 – 0) hampir semua tim unggulan tampil ngos-ngosan menghadapi lawan yang di atas kertas bisa mereka kalahkan dengan mudah.
Sebutah Italia. Juara bertahan itu bahkan tercengang lebih dulu dengan gol super kilat striker Albania Nedim Bajrami. Dan meski akhirnya menang 2 – 1, toh kenyataan di lapangan pasukan Luciano Spalletti tampak kelimpungan menaklukan tim “kacang bawang” Albania.
Lalu Inggris? Kalau bukan faktor “luck” nyaris ditahan imbang oleh Serbia. Gaya bermain ala kick n run ala Inggris, nyaris tak berkembang di hadapan anak-anak negeri sisa “reruntuhan” Yugoslavia itu. Ini sesuai dengan “kegamangan” arsitek Three Lions, Southgate, yang mengingatkan Harry Kane dkk agar tak jumawa terhadap tim yang secara kwalitas jauh di bawah mereka itu.
Nuansa gamang juga terlihat pada pasukan tim Ayam Jantan, Francis. Melawan Austria, yang kerap dianggap “tim penggembira” di daratan Eropa, Kylian Mbappe cs tampak benar-benar menemui jalan buntu untuk menjebol gawang lawan. Bahkan Mbappe sendiri tampak melempem, tak memberikan kontribusi maksimal kepada timnya. Maka wajar sang pelatih Ayam Jantan, Didier Deschamp tampak gamang di pinggir lapangan. Dan lagi-lagi faktor “luck” menyelamatkan muka Francis dengan kemenangan 1 – 0 atas tim negeri Aria itu.
Sama dan senasib dengan de Oranje Belanda. Menghadapi Polandia yang dikapteni “bintang uzur” Robert Lewandowski, juga seperti kehilangan sentuhan gaya total football yang melenggenda itu.
Maka wajarlah sang arsitek de Oranje Ronald Koeman mewanti-wanti Virgil van Dijk cs untuk tak songong dengan kemenangan susah payah atas Polandia. “Setiap permainan di fase grup tidak ada yang mudah. Selalu sulit diprediksi, tim manapun bisa membalikkan segala prediksi,” kata Koeman. Gamang? Entahlah!
Nasib paling tragis justru dialami salah satu tim bertabur bintang, Belagia. Salah satu tim unggulan yang diarsiteki Dominico Tedesco, justru hancur lebur di awal fase grup. Romelo Lukaku dkk dihajar wakil Eropa Timur, Slovakia. Ini tentu membuat jalan Belgia menuju pintu masuk fase gugur, kian sulit. Wajar saja, jika Tedesco uring-uringan setelah anak latihnya gagal mengkonversi banyak peluang menjadi gol. Belgia kini berada dalam suasana gamang karena harus menyapu bersih dua laga sisa fase grup. Sekali seri saja, apalagi kalah, De Bruyne dkk dipastikan angkat koper lebih dini dari Jerman.
“Syndrom Gamang” (baca: situasi sulit) sepertinya sudah menjadi semacam “hantu” menakutkan pada babak fase grup, di iven-iven besar seperti Euro 2024. Bahkan syndrom ini juga merambah hingga pesta paling megah sepak bola: Piala Dunia.
Masih ingat, betapa masgulnya fans tim panser Jerman saat dilumat Korsel di fase grup piala Dunia 2018 disusul piala Dunia 2022 Qatar yang dihancurkan pasukan Samurai Biru, Jepang.
Atau tengoklah raut wajah nelangsa Messi dkk setelah tim Tango Argentina tergelincir di bawah kaki tim “lemah” (untuk ukuran piala Dunia), Arab Saudi.
Kalau fakta-fakta di atas bulum cukup, mari kilas balik ke piala Dunia 1990, di Italia. Argentina yang datang dengan status sebagai juara bertahan, justru diterkam singa Afrika, Kamerun di babak fase grup. Padahal, Kamerun hanya bermain dengan 9 orang setelah dua geladangnya diganjar kartu merah. Kamerun yang diperkuat pemain tertua dalam sejarah piala Dunia, Roger Milla, memang menerapkan gaya permainan “sapu rata” tanpa kompromi untuk melumpuhkan tim Tango yang masih diperkuat oleh dewa sepakbola dunia Diego Armando Maradona. Toh, Argentina harus keluar lapangan dengan wajah muram setelah gol tunggal Oman Biyik lewat sundulan merobek gawang Tango yang dikawal Sergio Goycoochea. Setelah meluluhlantakkan Argentina di fase grup, Kamerun melaju ke babak 8 besar world cup yang mengusung theme song: To Be Nomber One itu. Argentina sendiri akhirnya lolos fase grup setelah memenangi dua pertandingan sisa. Bahkan Maradona dkk melaju ke babak final bersua dengan Jerman (Barat) yang diarsiteki sang Kaisar: Franz Bekenbauer. Der Pancer akhirnya keluar sebagai champion lewat gol semata wayang gelandang flamboyan Andreas Brehme dari titik putih.
Palingkan juga ingatan ke fase grup piala Dunia 2002 di Jepang-Korea. Francis yang datang dengan status juara bertahan, nyatanya dibuat seperti tim “kacangan” di duel pembuka versus wakil benua hitam, Sinegal. Pasukan ayam jantan yang diperkuat deretan bintang, sebutlah Zinedine Zidane, Didier Deschamp, Thieri Hendry dkk nyatanya harus bertekuk lutut digebuk Sinegal lewat gol tunggal El. Hadjie Diof di penghujung pertandingan. Tragisnya, tim Ayam Jantan berubah jadi “Ayam Sayur” setelah dihantam tim dinamit Denmark 2 – 0 di laga ke dua fase grup, dan ditahan imbang Uruguay 0-0 pada duel ketiga. Dan akhirnya Zidane dkk harus angkat koper lebih cepat dari Seoul, Korea Selatan.
Masih belum puas? Putarlah memori ke ajang Piala Dunia 2014. Pasukan matador Spanyol.deretan bintang kelas wahid datang dengan status mentereng: juara bertahan!
Faktanya, pada duel oertama fase grup, hancur lebur oleh keganasan de Oranje Belanda dengan skor “minta ampun”: 5 – 1. Duel Spanyol vs Belanda kala itu juga menciptakan gol “tandukan banteng” ala Robin van Persie ke gawang Ike Casillas.
Akankah tim unggulan masih gamang menghadapi dua laga sisa di fase grup? Atau mereka akan “mengganas” seperti “raksasa pemangsa?” Yang jelas, bola masih bundar dan bisa menggelinding ke gawang tim manapun, tak perduli tim unggulan atau underdog.
Nah, apakah “tragedi fase grup” juga akan menghantui tim unggulan di pesta bola di benua Amerika (Copa America 2024) yang akan bergulir akhir pekan ini? Inilah sisi menarik untuk dinantikan, selain kemenangan tim-tim unggulan.***
Artikel
Pengacara Korban Pembunuhan yang Melibatkan Anak Boss Prodia Terindikasi sebagai Makelar Kasus

Oleh: Wilson Lalengke_
Oknum pengacara keluarga korban pembunuhan yang melibatkan anak boss Prodia, Advokat Toni, S.H., terindikasi berperan sebagai makelar kasus yang mengatur penerimaan uang damai dari keluarga tersangka kepada keluarga korban, dengan bukti adanya penyerahan uang Rp300 juta kepada keluarga korban disertai penandatanganan surat perjanjian perdamaian.
Diketahui bahwa surat perjanjian itu dikonsep oleh Toni bersama tim-nya dan ditanda-tangani di depan advokat yang berkantor di Lt. 2 Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat itu. Salah satu klausul dalam perjanjian perdamaian tersebut adalah bahwa kedua belah pihak setuju kasus pembunuhan ini tidak dilanjutkan.
Hal tersebut terungkap dalam sebuah acara televisi swasta Nasional bertajuk Main Suap di Kasus Pembunuhan, Selasa malam, 4 Februari 2025. Dalam tayangan acara yang menghadirkan Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiotomo; Ketua IPW, Sugeng Santoso; dan Ahli Forensik Reza Indragiri, itu ditayangkan video berisi detik-detik penandatanganan perjanjian perdamaian antara keluarga korban dan keluarga tersangka disaksikan pengacara kedua belah pihak.
Walaupun Toni beralasan kasus ini adalah delik biasa, bukan delik aduan, yang artinya negara berkewajiban mengusut kasus tersebut hingga tuntas terlepas dari adanya uang damai, namun dari sikap diamnya usai penyerahan uang damai terhadap kasus ini, hal tersebut dapat dimaknai bahwa dia juga berharap kasusnya tidak dilanjutkan.
Dari momen saat penyerahan uang Rp300 juta kepada keluarga korban pada Mei 2024 hingga pemanggilan polisi di bulan September 2024, terdapat 4 bulan jedah waktu dimana kasus itu terkesan dipetieskan.
Keluarga korban juga terlihat pasrah dan tidak lagi meributkan kasus kematian anaknya, hal mana mengindikasikan bahwa akibat “uang suap” yang diterimanya menjadikan mereka tak bisa berbuat apa-apa.
Kasus ini akhirnya mencuat ke publik setelah diviralkan tentang dugaan pemerasan miliaran rupiah oleh oknum mantan Kasatreskrim Jakarta Selatan, AKBP Bintoro.
Dugaan pemerasan tersebut berdasarkan pada adanya gugatan perdata di PN jakarta Selatan oleh tersangka pelaku pembunuhan dengan tergugat AKBP Bintoro bersama beberapa pihak lainnya.
Dari sisi pengacara tersangka, advokat Evelin Dohar Hutagalung, sudah terang-benderang bahwa dia adalah makelar kasus yang bekerja keras untuk melepaskan kliennya dari jeratan hukum. Hal tersebut dapat dimaklumi, tapi tidak boleh dibiarkan.
Pengacara model begini harus diproses hukum dan disanksi berat, yakni 2 kali lebih berat dari hukuman bagi masyarakat umum yang melakukan pelanggaran pidana yang sama.
Advokat Toni, S.H. semestinya tidak boleh dibiarkan lepas tangan dari sengkarut hukum transaksional yang melingkupi kasus pembunuhan anak manusia yang terjadi. Toni harus diproses hukum sebagaimana halnya pengacara tersangka, advokat Evelin, atas sangkaan melakukan praktek makelar kasus. Minimal yang bersangkutan harus diproses Kode Etik Advokat oleh organisasi advokat yang menaunginya.
Kepada seluruh masyarakat dihimbau agar mulai memperbaiki dan atau merobah pola pikir berhukum di negara ini, jangan sekali-sekali bermain uang, suap-menyuap, dengan dalih uang perdamaian, khususnya untuk kasus-kasus berat seperti pembunuhan dan korupsi.
Kita sudah apatis terhadap para penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara, bahkan lembaga-lembaga pengawas dan penjaga kehormatan penegak hukum seperti kompolnas, ombudsman, DPR, dan lainnya.
Saat ini, tertinggal harapan pada diri masing-masing untuk memperbaiki kondisi hukum di negeri ini melalui penerapan hukum yang benar tanpa menghadirkan intervensi uang dan kuasa di dalamnya. Semoga. (*)
Artikel
Pagar Laut

Oleh: Dahlan Iskan
Bisakah tiga tujuan itu tercapai di sebuah kawasan yang akan dibangun besar-besaran seperti PSN PIK 2?
“Bisa”.
Yang mengatakan “bisa” itu Ahmad Khozinudin SH. Dia orang Jawa-Lampung. Dia sedang menggugat keberadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK2 yang di pantai utara Tangerang. Tepatnya di sebelah utara Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.
Luas tanah dan laut yang dia persoalkan itu 900 hektare. Khozi tidak sendirian. Ada 20 orang aktivis yang bersamanya. Termasuk seorang brigjen dan kolonel purnawirawan.
“Anda mewakili berapa petani dan nelayan?”
“Kami justru tidak atau belum mewakili mereka. Mereka jangan diikutkan dulu,” ujar Khozi.
“Kalau mereka ikut menggugat lalu dikalahkan, mereka akan habis. Kami dulu yang maju. Kalaupun usaha kami ini dikalahkan, petani, dan nelayan tidak rugi apa-apa,” tambahnya.
Khozi mengambil contoh proyek besar Bandara Soekarno-Hatta di sebelahnya. Juga proyek PLTU Teluk Naga di ujung barat PSN PIK2.
“Rakyat di dua kawasan itu senang kok. Investornya juga senang. Negara juga senang,” kata Khozi.
Orang tua Khozi asli Magelang. Miskin sekali. Dari desa di Kecamatan Salaman. Orang tuanya ikut transmigrasi ke Lampung. Ke Way Jepara. Di Lampung Timur.
“Saya dari keluarga NU, pernah aktif di IPNU, sekolah di Muhammadiyah, ikut IMM, lalu jadi aktivis HMI,” katanya. Berarti Khozi aktivis lintas pagar.
“Waktu di Lampung kami ini diejek orang Lampung. Lihat tuh orang Jawa, pergi ke Lampung bawa cangkul. Kami, orang Lampung, pergi ke Jawa bawa buku,” ujar Khozi terkekeh.
Dia pun jadi orang Lampung. Pergi ke Jawa untuk sekolah. Setamat kuliah di Magelang dia ke Jakarta, gabung dengan kantor pengacara lain sebelum akhirnya mandiri.
Awalnya Khozi tidak kenal Said Didu, penggerak rakyat untuk menggugat PSN PIK 2.
Didu adalah aktivis lama. Sejak masih di Makassar. Juga ketika jadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Juga ketika gabung di HMI.
Pertautan Khozi dengan Didu terjadi saat Didu dilaporkan ke polisi untuk kali kedua. Para aktivis berkumpul mendukung Didu. Di situlah Khozi kenal mantan sekretaris kementerian BUMN itu.
Gerakan aktivis pun bergeser lebih taktis. Lewat gugatan hukum, tanpa melibatkan petani dan nelayan dulu.
“Semua ini hulunya kan di UU Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Khozi.
Waktu pembangunan bandara Cengkareng (sekitar 1.000 hektare) tidak ada masalah. Ganti ruginya baik dan lancar. Pun ketika dibangun PLTU besar di Teluk Naga.
“Saat itu saja, ganti ruginya sudah Rp 300.000/meter,” ujarnya.
Bukan hanya itu. Khozi juga mengatakan ada ketidakadilan lain di PSN PIK 2.
“Pemilik tanah yang punya kuasa ganti ruginya normal. Kenapa yang rakyat hanya Rp 100.000, Rp 50.000, dan bahkan ada yang tidak dapat ganti rugi,” katanya.
Yang dimaksud pemilik tanah yang punya kuasa adalah bupati, camat, kepala desa, dan sejenisnya. Total ada 30 kepala desa yang terkait dengan PSN ini. Luas sekali.
Begitu panjang adu lidah di proyek ini. Kilah terakhir yang muncul di PSN PIK2 adalah: laut di sana itu dulunya daratan. Lalu kena abrasi. Berubah jadi laut. Maka kalau “laut” bersertifikat itu pada dasarnya dulunya daratan.
Kilah itu muncul setelah sebelumnya seperti ada yang kehilangan akal. Misalnya soal pagar laut sepanjang 30 km itu. Awalnya disebut tidak ada.
Setelah terbukti ada disebutlah tidak ada yang membangunnya. Lalu ada alasan baru: nelayanlah yang membangun. Alasannya untuk mengurangi gelombang.
Ketika diragukan apakah nelayan punya kemampuan dana segitu besar muncul kilah baru: pagar itu untuk menahan tanah saat air laut lagi surut. Lama-lama akan jadi daratan. Istilahnya: reklamasi alamiah.
Kilah itu tidak mempan meredam gejolak. Terakhir ada alasan terbaru: laut itu dulunya daratan.
Memang ada yang seperti itu. Saya pernah menuliskannya di Disway. Terjadinya di antara Semarang-Demak.
Kawasan itu kini berupa laut. Semua rumah hilang. Tinggal satu kuburan yang masih terlihat -itu pun saat air laut lagi surut.
Penduduk yang sudah pindah masih sering ke makam itu: pakai perahu.
Kini di kawasan itu dilewati jalan tol. Masih dikerjakan. Belum jadi. Pengerjaannya lebih lama. Lebih mahal. Jalan tol itu akan berfungsi sekaligus sebagai tanggul laut.
Begitu jalan tol jadi, kawasan laut itu akan kembali jadi daratan. Air lautnya dipompa ke arah utara tol.
Muncullah persoalan: setelah laut dikeringkan nanti tanah lama hidup lagi. Rakyat masih punya sertifikatnya. Sertifikat lama. Itu karena kejadian “daratan jadi laut” belum terlalu lama.
Tahun 1960-an masih daratan. Masih banyak yang mengalami itu dan sekarang masih hidup. Masih pegang sertifikat.
Akhirnya Presiden Jokowi ambil terobosan: mereka dapat ganti rugi separo harga. Selesai. Rakyat senang. Proyek berjalan. Negara pun akan bisa membangun kawasan baru yang akan menjadi kebanggaan Jawa Tengah dan nasional.
Rasanya kawasan Demak ini lebih besar daripada PSN yang ada di PIK2. Tanpa terjadi kehebohan.
Saya tidak tahu kapan daratan di Tangerang utara itu berubah jadi laut. Apakah sertifikat yang ada di laut itu terbit ketika masih berupa daratan.
“Mungkin memang ada daratan yang jadi laut. Tidak banyak. Lalu dimanfaatkan sekalian untuk laut yang awalnya pun bukan daratan,” ujar Khozi.
Di Demak, Presiden Jokowi turun tangan. Keruwetan yang berlarut langsung selesai lewat satu Keputusan Presiden.
Siapa tahu PSN PIK 2 di utara Bandara Soekarno-Hatta itu juga selesai dengan satu Keputusan Presiden Prabowo. Kan Prabowo terlihat lebih tegas dan lebih membela rakyat.
Siapa tahu.(*)
Artikel
MILITANSI PENDUKUNG CS SR AROMA KEMENANGAN YANG TAK TERBENDUNG

Oleh: Stefy Edwìn Tanor
Kehadiran massa kampanye CS SR (kamis, 21/11/2024) di Stadion Babe Palar yang diperkirakan puluhan ribu orang, bak lautan manusia yang penuh antusias mengikuti orasi jurkam CS SR. Menunjukan beberapa konklusi yang menggambarkan akhir dari pertarungan di Kontes pemilu Kepala Daerah di Kota Tomohon.
Pertama; menunjukan ruang ekspresi pilihan politik rakyat Tomohon ingin melanjutkan kepemimpinan Caroll Senduk SH. Artinya masyarakat Tomohon sebagian besar sangat setuju dengan apa yang sudah dilaksanakan CS dalam memenuhi harapan dan kebutuhan rakyat Tomohon.
Hal ini memang terkonfirmasi dari angka indeks kepuasan masyarakat atas pelayanan publik yang begitu tinggi dan mendapatkan peringkat kedua Nasional Pelayanan Publik Terbaik dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia.
Dan masih banyak lagi penghargaan dibidang pelayanan publik yang diterima Caroll Senduk SH, yang menunjukan betapa seriusnya beliau mengabdi dan mengemban amanat rakyat Tomohon (periode lalu).
Hal ini tentu menghasilkan penilaian objektiv dan keyakinan yang kuat bagi Rakyat Tomohon bahwa lima tahun kedepan CS SR pasti akan melakukan hal yang sama, bahkan akan ditingkatkan.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang ditunjukan lawan politik CS SR; yang baru berjanji dan belum pernah terbukti; dan hanya dapat melakukan firnah dan hoax; bereksegesis untuk meyakinkan rakyat.
Lupa bahwa lebih dari 50% pemilih Tomohon memiliki tingkat kecerdasan intelektual diatas rata-rata, yang mampu menakar menggunakan logika yang rasionalis.
Kedua; program-program yang ditawarkan CS SR lebih diterima secara baik oleh rakyat Tomohon. Pro rakyatlah pokoknya. Hastag Gratis Untuk Rakyat yang ditampilkan dalam tiga debat visi dan misi, diyakini publik Tomohon pasti dapat dilaksanakan dan dieksekusi CS SR lima tahun kedepan.
Yang lain masih retorika.., itu pendapat sebagian besar publik Tomohon. Konfirmasi ketepatan analogi ini adalah kehadiran massa dalam kampanye akbar CS SR yang tak terbendung itu.
Ketiga; militansi massa kampanye yang tanpa dibayar sepeserpun. Lautan manusia yang menghadiri kampanye CS SR adalah massa yang militan pure publik Tomohon. Bukan massa angkut dari daerah lain. Hal ini sungguh mengharukan betapa rakyat sangat mencintai CS SR dan rela tanpa ongkos sekalipun.
Sehingga sangat benar teriakan penonton disepanjang ruas jalan utama Kota Tomohon..”Lantikkk Jo…!” Bukan berlebihan memang tapi fakta dukungan yang tak terbendung.
Ini aroma kemenangan yang tak terbendung…CS SR memang top abis..(*)
-
Headline3 minggu ago
Pejabat & ASN Tomohon Diduga Patungan Rp10 Juta/Orang untuk Jegal CSSR
-
Headline4 minggu ago
Blunder, WLMM Gugat Keputusan KPU Tomohon ke MK, tapi Minta KPU Kapuas yang Menangkan Dirinya
-
Headline2 minggu ago
Wenny Lumentut jadi Walikota Berakhir di Mimpi. Kemendagri Akhirnya Nyatakan…
-
Headline2 minggu ago
Video “Leher” tak Jadi Diputar di Ruang Sidang, Voucher Papa Ani Tersaji di MK
-
Headline3 minggu ago
Alat Bukti Serta Dalil Pemohon Dinilai Tak Kuat, Kuasa Hukum WT – AGB : Arah Putusan Hakim Sudah Terlihat
-
Headline4 minggu ago
Tetapkan Tersangka Baru, Kejari Sangihe Jebloskan ke Sel Oknum PPK Pembangunan Asrama MTsN 1 Tahuna
-
Headline2 minggu ago
UU ini Bisa Bikin WLMM ‘Ger-ger’ Gugat Soal Pelantikan Pejabat Tomohon di MK