Connect with us

Artikel

“PEMULIHAN HAK SIPIL KHONGHUCU, IMLEK & GUs DUR”

Published

on

Oleh: Wenshi (Ws) Sofyan Jimmy Yosadi, SH.

Advokat, Dewan Pakar Pengurus Pusat MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia), Pengurus FKUB Sulut, Budayawan Tionghoa

Agama Khonghucu / Ru Jiao tersebar di seluruh dunia dan dipeluk oleh mereka yang menyakininya apapun latar belakang etnis, ras dan dari penduduk negara manapun di muka bumi ini. Mayoritas pemeluk agama Khonghucu berasal dari keturunan Tionghoa, namun agama Khonghucu untuk semua umat manusia.

Kedatangan orang-orang dari Tiongkok ke Nusantara berabad-abad yang lalu telah memperkaya agama dan budaya di Indonesia hingga saat ini.

Terdapat banyak Klenteng/Miào/Bio sebagai rumah ibadat Khonghucu di seluruh Indonesia, diantaranya di pulau Jawa terdapat di Ancol Jakarta, Semarang, Rembang, Lasem, Tuban dan sebagainya. Di luar pulau Jawa terdapat banyak Klenteng tua ratusan tahun diantaranya di kota Makasar dan Manado. 

Pada tahun 1729 di Batavia kini Jakarta telah aktif berdiri Shu Yuan Taman Pendidikan Khonghucu yang bernama Ming Cheng Shu Yuan (Taman belajar menggemilangkan iman).

Pada tahun 1883 didirikan Boen Tjhiang Soe yang kemudian berubah nama menjadi Boen Bio / Wen Miao di kota Surabaya. Pihak kolonial Belanda kemudian menyebutnya ‘De kerk van Confucius’ Gredja Boen Bio atau Geredja Khonghoetjoe. Selanjutnya, Klenteng Boen Bio dikelola oleh Perkumpulan Boen Bio yang didirikan tahun 1909 dan bekerja sama dengan Khong Khauw Hwee Surabaya yang didirikan kemudian yang kini disebut MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Surabaya.

Pada tahun 1886, semangat kebangkitan ogama Khonghucu di Nusantara diawali dengan terbitnya sebuah buku mengenai hikayat kehidupan Nabi Kongzi (Kongcu) yang ditulis oleh Lie Kim Hok. Pada tahun 1897, Kitab Suci Soe Sie / Si Shu Kitab Empat) terjemahan Toean Njio Tjoen Ean dicetak di Ambon, Maluku.

Pada tahun 1900 terjemahan Kitab Thay Hak / Da Xue (Ajaran Besar) disusun oleh Kwik Hong Hie dan Tjioe Tik Hing serta terjemahan Kitab Tiong Yong / Zhong Yong (Tengah Sempurna) oleh Tan Ging Kiong dalam bahasa Melayu Betawi.

Pada tanggal 17 Maret 1900, di Batavia (Jakarta) berdiri sebuah lembaga yang bernama Tiong Hoa Hwee Koan / Zhonghua Huiguan yang dipelopori tokoh-tokoh Khonghucu, dengan Presiden THHK pertama bernama Pan Jing He (Phoa Keng Hek) dan sekretarisnya Chen Qin Shan (Tan Kim San). Tujuan berdirinya Tionghoa Hwee Kwan adalah ingin memurnikan kehidupan keagamaan Khonghucu dan menghapus sinkretisme serta membangun lembaga pendidikan bagi anak-anak keturunan Tionghoa melawan diskriminasi pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1901, Yoe Tjai Siong menerbitkan mingguan Li Po dalam Bahasa Melayu Betawi tujuannya promosi ajaran agama Khonghucu di kalangan Tionghoa Peranakan. Kemudian diikuti penerbitan mingguan Khonghucu yang lain diantaranya Loen Boen (1903) di Surabaya, Ik Po (1903) di Solo dan Ho Po (1904) di Bogor. Tahun 1922, majalah Djiep Tek Tjie Boen / Ru De Zhi Men diterbitkan oleh Khong Khauw Hwee / Kong Jiao Hui Surabaya.

Pada tahun 1918 berdiri Lembaga keagamaan Khonghucu yang bernama Khong Khauw Hwee / Kong Jiao Hui di kota Solo. Kemudian menyusul beberapa tempat lainnya berdiri Khong Khauw Hwee / Kong Jiao Hui diantaranya di Bandung, Cirebon, Surabaya, Makasar, Malang, Semarang dan lain-lain.

Pada tanggal 12 April tahun 1923 diselenggarakan Kongres pertama kalinya di Jokyakarta dan terbentuklah Khong Khauw Tjong Hwee / Kong Jiao Zong Hui / Majelis Pusat Agama Khonghucu dengan ketua pertama Fang Guo Yuan (Poey Kok Gwan). Saat itu belum memakai nama Indonesia.

Pada tanggal 25 September 1924 di Bandung diselenggarakan Kongres lanjutan Khong Khauw Tjong Hwee / Kong Jiao Hui / Majelis Pusat Agama Khonghucu) dengan tujuan merumuskan Tata Agama Khonghucu agar seragam di seluruh Nusantara. Kongres berikutnya diselenggarakan di kota Solo pada tahun 1938 dan di kota Surabaya pada tahun 1940, yang merumuskan banyak keputusan diantaranya di sekolah khusus Khong Khauw Hwee diberi pelajaran agama Khonghucu demikian pula diatur kembali tata upacara pernikahan dan kematian serta perayaan tahun baru Imlek (Yinli).

Saat pendudukan Jepang, Majelis Agama Khonghucu praktis tidak diperbolehkan beeaktivitas. Kegiatan keagamaan dilaksanakan secara tertutup didalam rumah umat Khonghucu.

Dari latar belakang sejarah perjalanan agama Khonghucu di Nusantara, memberilan bukti dan fakta bahwa umat Khonghucu dan lembaga agama Khonghucu sudah ada selama ratusan tahun jauh sebelum Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945.

Sesuai dengan Anggaran Dasar MATAKIN Hasil Penyempurnaan berdasarkan Musyawarah Nasional (Munas) MATAKIN pada tanggal 20-22 Desember 2018, Bab I Pasal 1 Anggaran Dasar MATAKIN menyebutkan bahwa “Majelis ini bernama Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia atau The Supreme Council for Confucian Religion In Indonesia atau ‘Yinni Kongjiao Zhonghui dan disingkat dengan MATAKIN.

Spirit Majelis ini berawal dari berdirinya Ming Cheng Shu Yuan tahun 1729 dan Tionghoa Hwee Kwan tahun 1900 dimana Majelis ini mula-mula mengadakan kongres nasional pertama kali di Jokyakarta tahun 1923.

Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia, Majelis ini mengadakan kongres kembali di Solo Jawa Tengah pada tanggal 16 April 1955 (sebelumnya disebut Perserikatan Khung Chiau Hui Indonesia) untuk jangka waktu yang tidak terbatas” (Keputusan Musyawarah Nasional XVIII / 2018 Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia Nomor: 006/Munas XVIII/MATAKIN/2018 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Desember 2018)

Setahun setelah Republik Indonesia Merdeka, tepatnya tahun 1946, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Penetapan Pemerintah tentang Hari Raya, Nomor 2/OEM-1946 yang ditandatangani Presiden Soekarno dimana menurut Pemerintah RI, Hari Raya Agama Khonghucu adalah Tahun Baru Imlek, Hari Lahir Nabi Kongcu, Ching Bing, Hari Wafat Nabi Kongcu. Ada empat hari raya Khonghucu yang diakui Pemerintah Republik Indonesia saat itu.

 Tahun 1965, Terbitlah Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan / atau Penodaan Agama. Penpres ini ditandatangani Presiden Soekarno, dumana dalam Penjelasan Penpres No. 1 tahun 1965 disebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh Penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Khonghucu (Confusius).

 Pada tahun 1967, terbitlah Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Desember 1967 dan ditandatangani Pejabat Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto.

Sejak saat itu, perayaan tahun baru Imlek sebagai hari raya umat Khonghucu dan turut dirayakan masyarakat Tionghoa yang bukan beragama Khonghucu mulai dibatasi dan tidak boleh dilaksanakan dimuka umum sebagaimana ketentuan dalam Inpres No. 14 tahun 1967 tersebut.

Pada tahun 1969, terbitlah UU No. 5 tahun 1969 tentang Pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden menjadi Undang-Undang. Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 menjadi Undang-Undang melalui UU No. 5 tahun 1969 yang disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1969 dan ditandatangani Presiden Republik Indonesia Jenderal TNI Soeharto.

Pada tahun 2000, Presiden KH. Abdurrahman Wahid menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 6 tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No. 14 tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan adat Istiadat Cina. 

Keppres No. 6 tahun 2000 ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Januari 2000 dan ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid.

Sejarah dibalik terbitnya Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 adalah jawaban Gus Dur sebutan akrab KH. Abdurrahman Wahid ketika diminta tokoh-tokoh umat Khonghucu pimpinan MATAKIN yang memohon Gus Dur memulihkan hak-hal sipil umat Khonghucu dan berkenan memberikan “restu” penyelenggaraan Perayaan tahun baru Imlek Nasional yang disingkat Imleknas.

Ada tiga tokoh MATAKIN saat itu yang menghadap Gus Dur di Istana. Mereka pelaku sejarah dan telah menulis dalam banyak buku diinternal Khonghucu soal ini. Pertama, Prof. Dr. Wenshi (Ws) Dr. Drs. Chandra Setiawan, M.M., Ph.D (Huangjin Quan) yang saat itu adalah Ketua Umum MATAKIN, kemudian beliau menjadi Komisioner Komnas HAM RI yang pertama, Rektor IBii, Rektor President University, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Republik Indonesia dua periode dan banyak jabatan lain. Kini beliau anggota Dewan Rohaniwan MATAKIN Pusat.

Tokoh kedua adalah Xueshi (Xs) Ir. Budi Santoso Tanuwibowo, M.M. (Chen Qing Ming, saat itu Sekretaris Umum MATAKIN, kini menjabat Ketua Umum MATAKIN untuk periode kedua setelah sebelumnya menjabat Ketum MATAKIn dua periode. Tokoh ketiga adalah alm. Xueshi (Xs) Bingky Irawan dari Surabaya.

Inisiatif para Tokoh MATAKIN menyelenggarakan Imleknas saat itu masih terbelenggu dengan adanya Instruksi Presiden No. 14 tahun 1965 yang ditandatangani Presiden Soeharto. Maka ketiga tokoh Khonghucu tersebut memohon kepada Gus Dur sebagai Presiden RI agar mencabut Inpres No. 14 tahun 1967.

Suatu saat di Istana Negara dihadapan para tokoh lintas agama, Presiden KH. Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa beliau baru saja membereskan persoalan yang membelenggu umat dan kelembagaan Khonghucu dengan mencabut Inpres no. 14 tahun 1967 dengan menerbitkan Kepres nomor 6 tahun 2000. Gus Dur memenuhi permintaan ketiga tokoh MATAKIn tersebut.

Belakangan banyak yang mengklaim peran merekalah hingga Gus Dur mencabut Inpres No. 14 tahun 1967. Namun dibanyak kesempatan keluarga Gus Dur menjelaskan bahwa peran ketiga Tokoh MATAKIN tersebutlah hingga Gus Dur mulai memulihkan hak sipil umat Khonghucu dengan mengawali menerbitkan Keppres No. 6 tahun 2000 yang ditanda tangani Gus Dur pada tanggal 17 Januari 2000.

Belum lama pula ada video yang viral beredar tentang testimoni Prof. Dr, Yusril Ihza Mahendara yang mengatakan bahwa atas peran beliau yang saat itu Menteri Hukum & Perundang-undanhan RI maka Gus Dur memulihkan hak sipil umat Khonghucu. Kita tetap menghormati Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra.

Tapi, mungkin banyak yang tidak tahu bahwa Gua Dur sudah lama mengenal agama Khonghucu. Di tahun 1993 saat perkara gugatan pasangan suami istri umat Khonghucu Budi Gunawan yang menggugat Catatan Sipil Surabaya di PTUN Surabaya karena Capil Surabaya tidak mencatat pernikahan mereka, Gus Dur datang hadiri sidang dan mendukung perjuangan umat Khonghucu tersebut bahkan bersedia menjadi saksi ahli.

Saat Reformasi 1998, sebelum Gus Dur menjadi Presiden RI, Gus Dur menyatakan kesediannya menjadi salah satu Ketua Kehormatan MATAKIN dan mendukung perjuangan umat Khonghucu Indonesia.

Saat Gus Dur memulihkan hak sipil umat Khonghucu ditahun 2000, saat itu 24 tahun lalu, Shio Naga unsur Logam. Tahun ini 2024 juga Shio Naga tapi unsur Kayu. Di momentum tahun politik, pemilu dan Pilkada serentak.

Sebulan kemudian, tepatnya tanggal 17 Februari 2000, diselenggarakan Perayaan Tahun Baru Imlek Nasional (Imleknas) 2551 Kongzili oleh Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) yang dihadiri langsung oleh Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid dan Ibu Negara Hj. Shinta Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden RI Megawati Soekarno Putri dan Taufik Kemas serta Ketua MPR RI Amin Rais, Ketua DPR RI Akbar Tanjung, puluhan Menteri dan duta besar, ratusan tokoh agama dan masyarakat kurang lebih 3000-an undangan yang memadati Balai Sudirman Jakarta.

Presiden Republik Indonesia KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) telah memulihkan hak-hak sipil umat Khonghucu dan pada tahun 2001, terbitlah Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2001 tertanggal 9 April 2001 yang ditandatangani Presiden KH. Abdurrahman Wahid, menyatakan tahun baru Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya).

Pada tanggal 28 Januari 2001 Presiden KH. Abdurrahman Wahid hadir untuk kedua kalinya saat penyelenggaraan Imleknas 2552 Kongzili yang diselenggarakan MATAKIN.

Pada tanggal 17 Februari 2002, diselenggarakan Imleknas 2553 Kongzili yang dihadiri Presiden Megawati Soekarno Putri dan berkenan memberikan sambutan pada perayaan Imleknas yang diselenggarakan MATAKIN.

Saat itu Presiden Megawati Soekarno Putri memberi kado istimewa bagi umat Khonghucu dan masyarakat Tionghoa yang turut merayakan tahun baru Imlek dengan memberikan kebijakan untuk libur nasional bukan lagi libur fakultatif.

Hal tersebut ditindaklanjuti dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 April 2002 dan ditandatangani Presiden RI Megawati Soekarno Putri.

Keputusan Presiden No. 19 tahun 2002 ini kemudian ditindaklanjuti Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 331 tahun 2002 tentang Penetapan Hari Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional dan kemudian yang memutuskan mencabut Keputusan Menteri Agama No. 13 tahun 2001 tentang Penetapan Imlek sebaga Hari Libur Fakultatif.

Keputusan Menteri Agama Nomor 331 tahun 2002 ditandatangani dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Juni 2002 oleh Menteri Agama Republik Indonesia Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, MA.

Jika berkaitan dengan urusan keagamaan maka adalah hak dan wewenang Menteri Agama, maka dapat dipandang bahwa Keputusan Menteri Agama tersebut berkaitan dengan Perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari raya bagi umat Khonghucu.

Pada tanggal 28 Desember 2005, Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia dalam suratnya yang ditujukan kepada MATAKIN memberikan penjelasan bahwa UU No. 1 tahun 1965 jo. UU No. 5 tahun 1969 masih berlaku dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Sejak tahun 2006, umat dan kelembagaan Khonghucu mengalami puncak pemulihan Hak-hak sipil dimasa Presiden RI Dr. Susilo Bambang Yudhoyono. Pelayanan hak sipil tersebut adalah umat Khonghucu bisa mencantumkan agama Khonghucu pada kolom KTP, perkawinan pasangan Khonghucu mulai dicatat oleh negara dalam hal ini Catatan Sipil.

Murid-murid dan Mahasiswa Khonghucu mendapatkan pendidikan agama Khonghucu, guru-guru dan Dosen agama Khonghucu dapat memberikan pelajaran dan mata kuliah agama Khonghucu

Umat dan lembaga MATAKIN mendapatkan pelayanan di Kementrian agama Republik Indonesia dan diberikan bantuan oleh negara, tokoh-tokoh Khonghucu menjadi pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) baik tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten Kota, serta masih banyak lagi pelayanan hak sipil bagi umat Khonghucu yang dilayani oleh negara.

Perayaan tahun baru Imlek nasional yang diselenggarakan oleh MATAKIN dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia setiap tahunnya, amun belakangan Presiden RI Joko Widodo belum pernah sekalipun hadir saat Imleknas dan memutus mata rantai sejarah yang ditorehkan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarno Putri hingga Susilo Bambang Yudhoyono.

Walaupun sejumlah Menteri hadir saat Imleknas bahkan Menteri Agama setiap tahun hadir saat Imleknas namun kerinduan umat Khonghucu di seluruh pelosok negeri akan hadirnya Presiden Joko Widodo terus menjadi pergumulan dan penantian bersama.

Perayaan tahun baru Imleknas berkali-kali menghadapi banyak tantangan dimana banyak elemen masyarakat yang berusaha menyelenggarakan Imleknas dengan mengabaikan Imleknas yang diselenggarakan MATAKIN.

Bahkan upaya terus menerus yang dilakukan secara sistematis dan masif dari berbagai elemen tersebut diantaranya membuat banyak tulisan atau artikel yang menyatakan bahwa tahun baru Imlek bukan perayaan keagamaan artinya bukan hari raya agama Khonghucu namun hanya budaya Tionghoa semata. Ada pula berbagai artikel dan argumentasi yang sengaja mengaburkan sejarah dan makna penanggalan Imlek dengan “tidak mengakui” penanggalan Kongzili dimana hari raya tahun baru Imlek dihitung dari usia Nabi Kongzi yakni 551 SM. Tahun ini disebut Tahun Baru Imlek 2575 Kongzili karena dihitung usia kelahiran Nabi Kongzi 551 ditambah 2024 menjadi 2575.

Padahal justru pemerintah Republik Indonesia dalam menetapkan hari libur nasional memakai penanggalan Kongzili artinya mengakui penanggalan Imlek berdasarkan usia kelahiran Nabi Kongzi.

Tentu saja hal-hal seperti ini perlu diluruskan, bahwa adalah hal yang tidak mungkin Pemerintah Republik Indonesia membuat keputusan berkaitan dengan Hari libur nasional karena perayaan etnis tertentu.

Apakah terlalu istimewa Etnis Tionghoa atau etnis Cina jika hari raya Imlek karena adat istiadat budaya Tionghoa semata ?

Jika ada perayaan yang berkaitan dengan etnis tertentu dan pemerintah Republik Indonesia mengakomodirnya menjadi hari libur nasional maka etnis yang lain di Republik ini akan menuntut hal yang sama. Bayangkan, Ada lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Jika pemerintah Republik Indonesia mengakomodir hari libur nasional berdasarkan etnis maka setiap hari adalah hari libur nasional.

Terima kasih Gus Dur, umat Khonghucu Indonesia tidak akan pernah melupakan Sampeyan hingga kapanpun. (*)

Print Friendly, PDF & Email
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel

Wenny Lumentut tak Paham Birokrasi dan tak Layak Pimpin Tomohon

Published

on

By

Oleh : Ruddy Tangkawarouw, SH dan
Drs. Eddy Turang

POLITIK dagang sapi, merupakan perilaku politik yang tidak bagus dan tak mendidik, karena hanya akan menjerumuskan pemimpin dalam lubang kehancuran birokrasi yang dalam.

Saat ini penataan sistem birokrasi sudah teratur dan terkendali, melalui mekanisme dan aturan perundang undangan yang bagus dan ketat. Salah satunya adalah pola perpindahan birokrasi baik tour area , atau tour of duty-nya sudah sangat presisi dengan sistem meritokrasi yang diawasi Menpan dan Mendagri.

Di Tomohon, pemerintahan Caroll Senduk, menatanya dengan menerapkan semua mekanisme perpindahan dalam jabatan atau tren disebut rolling, wajib melewati sistem yang sesuai aturan.

Seperti yang dipersoalkan terakhir, ternyata oleh kemendagri dinyatakan sudah sesuai aturan, karena dalam sistem pemerintahan daerah yang juga diatur dalam prinsip hukum administrasi negara bahwa setiap keputusan bersifat becheking itu selalu memuat kalusul bahwa apabila terdapat kekeliruan maka akan diadakan pembetulan seperlunya.

Prinsip ini memberikan ruang bagi pembina kepegawaian atau pejabat pembuat keputusan, dapat meninjau keputusannya apabila ada kesalahan.

Hal-hal seperti itulah yang mewarnai proses penataan birokrasi Kota Tomohon, yang oleh Depdagri dan KemenPan RB justru memberi apresiasi terhadap kepemimpinan Caroll Senduk.

Muncul pertanyaan bagaimana dengan Wenny Lumentut ? Dari pengalaman yang ada, kami sebagai birokrat senior dan ikut meletakkan dasar pelayanan publik dan pemerintahan sejak awal Tomohon berdiri di tahun 2003, berpendapat sebagai wakil wali kota mendampingi Caroll Senduk (CS) sejak 2021-2023, Wenny Lumentut (WL) lebih banyak menerapkan sistem birokrasi dagang sapi, membuat peta prosentasi jabatan dan menjanjikan jabatan sebagai alat tukar menukar kepentingan.

Hal ini menjadikan terdapat “matahari kembar” di Kota Tomohon pada masa duet CSWL, walaupun sampai saat ini Caroll Senduk membantah jika dia dan WL waktu itu pecah kongsi, karena hingga sekarang Caroll menyatakan hubungannya dengan WL aman-aman dan baik-baik saja.

Namun fakta empiris di publik menyatakan sebaliknya. Malah, di mana-mana WL menyatakan bahwa Caroll Senduk justru adalah figur yang tak mampu, lemah, bahkan tidak jarang Caroll dimaki-maki dengan kata-kata kurang sopan oleh WL kepada pejabat-pejabat yang datang menghadap WL, baik di kantor maupun di ruangan.

Ini yang sangat kami sesalkan. Selama menjadi wakil wali kota, WL jarang ke kantor, kerjaannya banyak di rumah, kumpul-kumpul orang dan membangun kekuatan sendiri.

Dia juga memprovokasi pejabat-pejabat yang sakit hati untuk melakukan perlawanan kepada wali kota. Ini fakta yang kasat mata di depan publik, bahkan dari dulu WL sudah memelihara beberapa oknum wartawan melakukan serangan-serangan personal kepada Wali Kota Caroll Senduk, dengan segala fitnahan, dan informasi sesat dengan tujuan membangun kebencian kepada walikota.

Hal ini membuat masyarakat semakin cinta wali kota, karena mereka memahami bahwa Caroll Senduk adalah orang baik dan santun, bicaranya terukur, dan sangat sopan. Beda dengan karakter WL, yg meledak-ledak, suka maki-maki dan sangat tidak sopan di muka publik.

Sifat-sifat yang sangat bertolak belakang antara Caroll Senduk dan Wenny Lumentut, menjadikan Caroll enggan berpasangan lagi dgn WL untuk maju periode keduanya. Dan, dengan ambisi yg menggebu gebu, jauh-jauh hari WL mengumpulkan tanda tangan untuk maju lewat jalur perseorangan.

Dia juga melakukan agitasi dan provokasi kebencian ke Wali Kota Caroll Senduk, tapi lagi-lagi masyarakat justru makin mencintai Caroll Senduk.

Oleh karena itu, kami menilai sangat tidak layak jika Tomohon dipimpin oleh figur yang tidak santun, perilaku politik yang mengandalkan memperdagangkan jabatan dan birokrasi. Karena kalau hal ini terjadi, rakyat dan kota Tomohon akan mengalami kemunduran akibat birokrasi yang amburadul.

Saat ini adalah masa kampanye, dimana masyarakat wajib kita sampaikan fakta-fakta kebenaran. Sehingga masyarakat tidak terlena dengan janji materi/uang yang sesaat, tapi menderita lima tahun.

Kita butuh pemimpin yang berkarakter, yang memiliki etika, estetika, dan dialektika, baik dalam politik, budaya serta kemasyarakatan, untuk menjaga marwah Kota Tomohon sebagai Kota Religius dan Kota pendidikan.

Ini pesan leluhur yang harus dipertahankan dan dijaga. Kami punya tanggung jawab moral sebagai orang Tomohon, yang juga pernah berbuat untuk Kota Tomohon. Kami tidak mau Tomohon dibawa ke jurang kemuduran, akibat dipimpin oleh figur yang tidak paham kepemimpinan dan budaya serta etika Tomohon, yang berbudaya Tombulu.(*)

Disclaimer : Tulisan ini adalah rilis yang dikirimkan ke Redaksi, dan sepenuhnya tanggung jawab penulis. Redaksi.

Print Friendly, PDF & Email
Continue Reading

Artikel

Tragedi Kemang dan Petisi Satu Pena

Published

on

By

Oleh: Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM

Tragedi penghancuran demokrasi kembali muncul di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, hanya jelang 20 hari berakhirnya rejim Jokowi.

Betapa tidak! Puluhan pria bermasker mengobrak-abrik serta memaksa pembubaran acara diskusi “Silaturahmi Kebangsaan Diaspora dari lima benua bersama Tokoh dan Aktivis Nasional”.

Acara diskusi yang digelar oleh insan diaspora yang tergabung dalam Forum Tanah Air (FTA) di Kemang, Jakarta Selatatan, Sabtu (28/09) itu pun kacau. Lalu bubar! Yang membubarkan adalah orang-orang bermasker dengan gaya preman jalanan.

Hadir dalam forum diskusi tadi, antara lain, Prof. Dr. Din Syamsudin (Mantan ketua PP Muhammadiyah), Dr.. Said Didu (Mantan Sekjen Kementerian BUMN), Mayjen Sunarko (Mantan Danjen Kopassus), pakar hukum tata negara Refly Harun, dan lain-lain.

Dari kalangan Diaspora (orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri) yang tergabung dalam FTA, hadir Ketua dan Sekjennya, Tata Kesantra dan Ida N. Kusdianti.

Acara ini awalnya dirancang sebagai dialog antara diaspora Indonesia di luar negeri dengan sejumlah tokoh dan aktivis nasional terkait isu kebangsaan dan kenegaraan. Tapi di tengah jalan acara tersebut berantakan karena dibubarkan sekelompok orang tak dikenal (OTK).

Sejumlah pejabat dan tokoh mengecam aksi premanisme dan menyayangkan kepolisian gagal mencegahnya. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus pembubaran diskusi Forum Tanah Air (FTA) oleh sekelompok orang dengan gaya premanisme.

“Aparat Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 30 September 2024. Poengky mengatakan, aksi kekerasan yang ditunjukkan kelompok pengganggu diskusi itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul, berekspresi dan mengemukakan pendapat.

“Sangat mengejutkan setelah 26 tahun reformasi ternyata masih dijumpai kelompok seperti ini di Indonesia,” katanya.

Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dhahana Putra, mengecam tindakan pembubaran paksa diskusi tersebut. Dia menilai bahwa peristiwa pembubaran yang terjadi pada Sabtu itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan HAM yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU”.

“Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat merupakan hal penting di dalam sebuah negara demokrasi, termasuk Indonesia,” kata Dhahana di Jakarta, Minggu.

Dia mengatakan pemerintah telah menjamin kebebasan berpendapat dengan mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai payung hukumnya. Dhahana juga menegaskan bahwa tindakan pembubaran tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 24 ayat 1 yaitu Pembubaran diskusi umum secara paksa merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.

Akibat akisi premanisme puluhan orang tak dikenal (OTK) itu, acara silaturahmi dan diskusi berantakan. Hampir semua fasilitas acara silaturahmi seperti sound system, backdrop, dan alat video-fotografi dihancurkan. Alasannya, diskusi tersebut mengganggu keamanan dan persatuan nasional. Sebuah alasan yang mengada-ada dan irasional.

Saat itu, petugas kepolisian yang berada di sekitar TKP (tempat kejadian perkara) seperti tak berdaya menghadapi aksi premanisme OTK tersebut.

Banyak pihak menuduh, polisi sengaja membiarkan aksi premanisme itu. Tak sedikit pihak menuduh aksi premanisme itu by design. Siapa yang mendesainnya?

Patut diduga kuat design tersebut adalah dari rejim yang ada sekarang. Polisi adalah institusi keamanan dalam naungan eksekutif. Tuduhan di atas bukan omong kosong. Sebelumnya sudah terjadi puluhan kasus serupa tragedi Hotel Kemang dalam varian berbeda.

Siapa yang menyiram air keras ke muka penyidik KPK Novel Baswedan (karena sikapnya yang antirejim), hingga kini masih misteri.Siapa yang mengobrak-abrik standar operasi pelaksananaan (SOP) Pemilu dan Pilpres 2024 hingga sarana demokrasi itu runtuh?

Publik sudah tahu, hanya saja pura-pura tidak tahu. Mengaku tidak tahu jauh lebih aman dari mengaku tahu.

Polda Metro Jaya telah menangkap lima orang dalam tragedi Kemang. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Kita berharap, polisi bisa menangkap master mind-nya.

Jika tidak, publik akan menganggap polisi sedang bermain Drakor (Drama Korea). Ya, jangankan pembubaran kasus Hotel Kemang yang liliput, perusakan prinsip Demokrasi dalam Pemilu dan Pilpres pun, dapat dilakukan dengan mulus! Ini semuanya, penghancuran demokrasi. Semua itu by design. Ada perencanaan sistematis di sana.

Sekarang hasilnya sudah tampak. Hampir semua institusi penegak hukum dan keadilan telah membusuk. Rejim telah “meracuni” hampir semua institusi penegakan hukum dan demokrasi dalam empat tahun terakhir. Kasus premanisme di Hotel Kemang hanya secuil busa di atas puncak gunung es yang terlihat dengan kasat mata.

Di balik itu, kerusakan institusi hukum sudah mengerikan. Patut diduga penguasa saat ini telah berubah menjadi monster raksasa yang bisa mengkremus siapa pun yang berani melawan rencananya, membentuk politik dinasti dan oligarki. Kasus premanisme di hotel Kemang hanya bagian dari target kecil yang diburu rejim untuk dilenyapkan.

Perusakan demokrasi tersebut berbuntut pada berbagai kerusakan hukum, ekonomi, sosial dan sebagainya. Negara ini sedang mengalami berbagai krisis akibat rezim yang berkuasa, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, tidak menjalankan tugasnya sepenuh hati sesuai tujuan berbangsa dan bernegara.

Organisasi hak asasi manusia ELSAM menilai rentetan kasus pembubaran diskusi atau protes akhir-akhir ini memiliki pola yang sama: diinisiasi oleh kelompok pro-kekerasan dan berakhir dengan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang manjadi sasaran aksi. Perluasan praktik semacam ini, menurut Elsam, menunjukkan semakin besarnya risiko ancaman terhadap warga dan kegagalan negara untuk memenuhi dan melindungi hak asasi rakyatnya.

Tragedi Kemang dan ratusan tragedi serupa yang muncul di seluruh Indonesia belakangan ini menunjukkan apa yang diprihatinkan para penulis dalam Petisi Satu Pena, yang ditandatangani 1001 tokoh ternyata benar adanya.

Para penulis anggota Persatuan Penulis Indonesia (Satupena), yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia, menyatakan dan menuntut hal-hal sebagai berikut:

1. Pemerintah, DPR, MA, MK, KPU dan pihak-pihak terkait melaksanakan sebaik-baiknya Putusan MK Nomor 60 dan 70.

2. Meminta Pemerintah dan lembaga/kementerian terkait, juga jajaran legislatif dan yudikatif untuk menjunjung tinggi, menghayati, mengamalkan dan menjamin dilaksanakannya prinsip-prinsip demokrasi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.

3. Menghilangkan segala bentuk kebijakan dan tindakan yang menguntungkan kepentingan pribadi/pihak/golongan tertentu dan berdampak buruk bagi rakyat, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)

4. Menolak dengan tegas laku politik oligarki otoriter untuk melayani kekuasaan politik dan ekonomi golongan dan kelompok tertentu, yang mematikan proses demokrasi untuk mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Keprihatinan dalam Petisi Satupena, merupakan keprihatinan kita semua. Kita berharap pemerintahan baru yang mulai bekerja setelah 20 Oktober 2024, dapat memperbaiki kerusakan demokrasi dan hukum seperti tersebut di atas.

Semoga Tuhan memberkati bangsa Indonesia dan membimbing kita menuju jalan yang benar. (*)

Penulis: Ketua Umum DePA-RI/Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia dan Member Satu Pena

Print Friendly, PDF & Email
Continue Reading

Artikel

KIPRAH UNIK PARA TALENTA DAIRI DI RAGAM DIMENSI

Published

on

By

Penulis: Vickner Sinaga

Hampir lima puluh tahun kami merantau, meninggalkan Dairi. Masa yang sangat panjang, namun seakan tak terasa. Pasalnya, sesama perantau Dairi, berinteraksi rutin di negeri orang. Sekali dalam tiga bulan kami lulusan SMA 225 (dulu), kini SMA 1, tahun 1975, guyub rutin. Diluar momen insidentil. Bersama di kala suka dan duka. Untuk scope yang lebih luas, bersama merayakan Natal.

 Kadang pemuda Dairi melakukan turnamen olah raga antar kecamatan. Semisal futsal. Serasa di kampung nun jauh di tempat kelahiran. Uniknya pemrakarsanya, kaum perempuan asal Dairi. Sebutlah, Era Gusti Boang Manalu…. Bang, ini proposalnya, tolong turnamennya di buka besok, ujarnya yakin, bahwa saya takkan menolak.

 Empat dekade, suasana Sidikalang terpelihara di Jakarta dan sekitarnya. Paling sering ngobrol dan tarik suara. Kadang hingga lewat tengah malam. Penyanyi utama, kelas nasional. Sebutlah Hilman Padang, Tio Fanta Pinem. Jika acaranya tak terlalu serius, hanya kongkow kongkow, Pargaulan Marbun atau Surya Simatupang menjadi pilihan. Seakan tak beda dengan penyanyi aslinya, jika Pargaulan Marbun menyanyikan lagu Bee Gees. Almarhum Surya Simatupang, lebih wah… Lagu apapun bisa..

  Kuingat puluhan kali sudah Surya dkk., kuminta mengisi acara resmi. Mulai level sekedar kangen-kangenan di rumah Cinere. Empat kali acara bedah buku di restoran Rarampa. Hingga event internasional.

Itu band nya dari mana?, tanya pak Hasjim Djojohadikusumo, Ketua Umum PB Percasi saat itu. Teman sekampungku, jawabku bangga. Flaminggo, grup band itu bisa membangun suasana akrab dengan para peserta turnamen catur dari 60 negara dunia.. Saya selaku Waketum PB Percasi saat itu, ditunjuk sebagai Ketua Penyelenggara  IOCC. International Open Chess Championship. Dua tahun berturut, tahun 2011 dan 2012… Manggung di luar negeri?. Flaminggo, tak terhitung berapa kali. Praktis, kami saling kontak sepanjang empat dekade itu. Ada lagi kisah lain..

   Jika ditanya, alumni ITB di PLN, generasi pertama, asal Dairi, pastilah Ir. Bonar Sihombing. Seniorku dua tahun. Saya yang lebih muda sering sowan. Advisnya pasti bermanfaat, pikirku. Dalam perjalanan karier, Bonar Sihombing tidak se tokcer kami juniornya. Sebutlah Ir. Tumpal Simarmata par Pasar lama, menggapai GM. Bahkan kami, hingga level Direktur. Namun, soal rohani, beda. Almarhum sambil kerja, kuliah di sekolah teologia. STT benaran. Meraih titel M Div.

    Saya sungguh terkaget, kala dia mendatangiku. Bantu ya lae, ujarnya. Saya sudah selesai kuliah di sekolah pendeta. Dan kini, mendapat tugas membangun fisik gedung gereja “Kandang Roda”, di kawasan Cibinong. Sangat surprise, karena gereja dimaksud ternyata bagian dari HKBP… Jabatan pemimpin, tak diraihnya di PLN. Justru di bidang rohani. Sebagai Pendeta HKBP Resort Kandang Roda. Ini kisah di rantau. Bagaimana sentuhan ke Dairi?. Tanah kekelengan?.

   Aku mengajak tiga teman kelas dulu itu. Membangun hotel Berristera. Sesuai harapan bupati saat itu Drs S. Is Sihotang. Meski secara bisnis tidak “layak”, namun tekad bersama memberi sesuatu yang nyata bagi tanah kelahiran. Tak sampai dua tahun terwuyud dan beroperasi, hingga kini. Awalnya, 30 pegawai terseleksi. Semua fresh graduate SMU dan SMK. Tanpa pengalaman. Hanya General Manajernya diambil dari Natour Parapat. Kebetulan orang Sidikalang juga…..

    Praktek baru dalam manajemen ku uji coba. Karena jika semua mencari calon pekerja “yang berpengalaman”, kapan yang tanpa pengalaman, dapat kesempatan?. Ternyata hasilnya oke. Bahkan, ada karyawan hotel yang pindah ke Jakarta. Naik kelas. Dari bintang satu loncat ke bintang lima. Hotel JW. Marriot. Putera puteri Dairi memang nampu. Jika diberi tantangan dan kesempatan.

    Satu waktu muncul ideku. Kuberitahu beberapa teman. Program Batik untuk Semua guru, SD hingga SMU.. Awal tahun 2000 ide itu terwujud. Mungkin ada yang bertanya, apa tak sulit?. Tak ada kata sulit. Tapi menantang. Terlaksana, meski tak sempurna. Kata kuncinya, Niat baik, tulus dan serius melakoni. Hari ini pun lebih seratusan, operasi Katarak. Lanjut besok sejumlah yang sama. Total 200 pasien. Sponsornya?. Tunggal. Anak Dairi. Robert Nyo, par strat Tigalingga. Cucu angkatnya ompung TB Silalahi. Saat tulisan ini diposting tim sedang naik ferry ke Tanjung Balai Karimun.

Menuntaskan misinya. Robert Nyo dan Vickner Sinaga, adalah dua dari beberapa sosok penyokong, saat sekolah unggulan SMA Soposurung dimulai. Saat itu ompung TB Silalahi sebagai bos kami, Sekjen Kementrian ESDM. Lanjut beberapa kali kami diundang di perayaan Natal Alumni Soposurung, di rumah dinas Menpan.. Kawasan Kuningan. Dan menikmati fasilitas menginap di TB Silalahi Center, Balige. Menggunakan speedboat nya, keliling pulau Samosir.

Itu kiprah unik dan riil talenta Dairi, di luar tanah kelahiran. Sudah merambah ke Riau dan Riau Kepulauan. Tetaplah saluran berkat, sobatku Robert Nyo… Masih banyak lagi, lae Engsun, Togam, dan Martogi Siahaan anak Sumbul, yang mendunia, Direktur Astra Otopart.. Puncaknya dua Dutabesar, Sahat Sitorus dilanjut Prof. Dr. Junimat Girsang yang akan menunaikam tugas di Italia.

   Selamat Berakhir pekan, para sobat facebook.. Kudedikasikan buat keluarga alm. Ir. Bonar Silaban di Bogor. Juga buat keluarga alm. Surya Simatupang, yang mengirim dukungan spirit bagi kami, sehingga memicu terbitnya artikel ini (*)

Print Friendly, PDF & Email
Continue Reading

Trending

× Kontak Redaksi