Connect with us

Entertainment

Tatap Muka dengan Utusan Khusus Presiden, Raffi Ahmad Dukung Penuh Film Mariara

Published

on

JAKARTA,mediakontras.com – Mariara, Perjamuan Maut, film karya anak-anak Manado, kembali membuktikan kualitasnya. Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni, Raffi Ahmad, menerima kunjungan Tim Gorango Pictures, production house (PH) film itu.

Pertemuan Rabu (13/11/2024) yang dipimpin Sutradara Veldy Reynol Umbas didampingi Produser Merdy Rumintjap dan beberapa pemeran Mariara dengan Raffi Ahmad, menjadi poin tersendiri bagi perfilman daerah.

Sebagai film yang murni produk lokal Sulawesi Utara (Sulut), apresiasi Raffi Ahmad terhadap Mariara membuktikan kualitas karya anak-anak dari daerah tidak kalah dengan sineas dan pemeran yang selama ini sudah menasional. Selama ini, Raffi juga dikenal sebagai selebriti yang punya pengikut puluhan juta di Indonesia dan berbagai negara.

“Mantap dan luar biasa teman-teman dari Manado ini. Saya dukung sepenuhnya Mariara. Teruslah berkarya,” kata Raffi kepada Tim Gorango dalam pertemuan yang berlangsung sangat akrab itu.

Setelah Mariara Perjamuan Maut, Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni itu mendorong generasi muda, khususnya Sulut, agar terus melahirkan karya-karya berkualitas.

“Negara kita punya banyak potensi, termasuk generasi mudanya memiliki ide-ide krearif. Sudah menjadi tugas negara mendorong dan memfasilitasinya,” ujar Raffi Ahmad.

Sebagai seorang figur publik yang berpengaruh, dukungan Raffi Ahmad pada Mariara ini, menurut Sutradara Veldy Reynol, menjadi inspirasi unruk melahirkan karya-karya berkualitas lainnya.

Menurut dia, penunjukan Raffi Ahmad sebagai Utusan Khusus Presiden menunjukkan komitmen pemerintah untuk memberdayakan generasi muda dan mendukung perkembangan industri seni dan kreatif di Indonesia.

“Pak Raffi sudah membuka kolaborasi dengan banyak pihak untuk menyukseskan program-program dalam meningkatkan kesejahteraan para pekerja seni dan memberi dampak positif bagi generasi muda sebagai penerus bangsa. Di sinilah peluang kita yang dari daerah,” tambah Produser Merdy Rumintjap.

Mariara, Perjamuan Maut adalah film karya putra-putri Sulawesi Utara yang akan tayang perdana di jaringan bioskop XXI pada 27 November mendatang.(rek)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Entertainment

Tatap Muka dengan Wamen Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono akan Nonton Mariara

Published

on

By

JAKARTA,mediakontras.com – Dukungan terhadap Mariara, Perjamuan Maut, film karya anak-anak Manado produksi Gorango Pictures, terus berdatangan. Kali ini dari Wakil Menteri (Wamen) Lingkungan Hidup, Diaz Hendropriyono.

Tak hanya memberi apresiasi atas produksi film Production House (PH) dari Manado ini seperti yang disampaikan Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad, kemudian Wamenaker Imanuel Ebenhaezer Gerungan; Wamen  Diaz Hendropriyono bahkan menyatakan dirinya siap datang ke XXI pada 27 November pekan depan, menonton langsung Mariara Perjamuan Maut.

Hal itu diutarakan Diaz saat melakukan pertemuan dengan kru Mariara yang dipimpin Produser Merdy Rumintjap, Sutradara Veldy Reynold dan Leo Lintang, salah seorang pemeran film ini, Selasa (19/11/2024).

Sebagai film yang murni produk lokal Sulut, apresiasi Diaz terhadap Mariara membuktikan kualitas karya anak-anak dari daerah tidak kalah dengan sineas dan pemeran yang selama ini sudah menasional.

“Mantap dan luar biasa teman-teman dari Manado ini,” tutur Diaz tak menyembunyikan kekagumannya pada keuletan seluruh kru Mariara, khususnya ketika diceritakan bahwa butuh lima tahun merampungkan film ini, dengan berbagai tantangan yang dihadapinya.

Karena itu, setelah Mariara Perjamuan Maut sukses menembus ketatnya syarat di XXI, Diaz berharap akan ada lagi film selanjutnya, baik oleh Gorango Pictures maupun putra-putri daerah lainnya.

“Ayo, saya yakin teman-teman di daerah itu punya kemampuan yang tidak kalah dengan di Jakarta atau kota lain yang selama ini sudah dikenal di perfilman nasional. Angkat potensi di daerah kalian yang kaya itu menjadi sebuah karya yang saya percaya pasti luar biasa,” paparnya.

Mariara, Perjamuan Maut adalah film karya putra-putri Sulawesi Utara yang akan tayang perdana di jaringan bioskop XXI pada 27 November mendatang.(rek/*)

Continue Reading

Entertainment

Wamenaker Apresiasi dan Dukung Film Mariara, Dorong Anak Daerah Terus Berkarya

Published

on

By

JAKARTA,mediakontras.com – Apresiasi dan dukungan penuh bagi karya anak daerah kembali ditunjukkan pemerintah pusat saat Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker) Imanuel Ebenhaezer Gerungan menerima kunjungan Tim Film ‘Mariara Perjamuan Maut’.

Tim Mariara dipimpin langsung Eksekutif Produser Michael Umbas didampingi Produser Merdy Rumintjap, Sutradara Veldy Reynold bersama berapa crew film dan diterima di ruang kerja Wamenaker, Jumat 15/11/2024).

Kepada Tim Mariara, Wamenaker Imanuel Ebenhaezer menyampaikan kekagumannya karena karya anak-anak daerah dari Manado ini sudah mampu menembus ketatnya persaingan perfiliman di Tanah Air.

Gorango Pictures, production house yang memproduksi Mariara, menurut Wamenaker, tidak saja membuktikan jika dari daerah pun dapat menghasilkan suatu karya berkualitas yang tak kalah dengan sineas serta pemeran di ibukota.

“Tembus XXI itu tidak mudah lho. Hanya karya-karya berkualitas yang bisa masuk,” ujar Wakil Menteri yang juga dikenal berlatar belakang aktivis ini.

Tak hanya kemampuan manajemen film yang diapresiasi Wamenaker, namun dia juga melihat berkembangnya industri perfilman di daerah dengan sendirinya akab membuka peluang kesempatan kerja, utamanya bagi generasi muda.

“Saya tahu ada banyak komponen yang terlibat dalam pembuatan sebuah film. Karena itu ada banyak pula yang ikut mendapatkan penghasilan dari situ,” paparnya.

Karena itu, kata dia, pemerintah akan terus mendorong putra-putri dari daerah agar makin mampu menghasilkan karya berkualitas.

“Ide dan potensi yang dapat diangkat tersedia di daerah karena memang tanah air kita ini sangat kaya. Keberagaman Indonesia itu salah satu keunikan kita,” tutur Wamen Imanuel memberi semangat.

Mariara Perjamuan Maut pada 27 November nanti akan tayang serentak di jaringan bioskop XXI di Indonesia.

“Kita sudah promosikan dan Puji Tuhan, film Mariara mendapat sambutan hangat. Jangan lupa tanggal 27, setelah coblosan datang ke XXI yaa nonton keseruan Mariara,” ajak Produser Merdy Rumintjap.(rek)

Continue Reading

Entertainment

Mariara, Misteri Kengerian di Balik Tradisi dan Agama di Minahasa

Published

on

By

Manado – Tak bisa dipungkiri, dunia mistik di Minahasa masih tetap eksis meskipun perkembangannya tak sesemarak dulu. Di perkampungan, ritual praktik ini berbaur dengan aktivitas keagamaan.

Di Minahasa, api kecemasan publik terhadap segala hal yang berbau sihir dan penyihir, digambarkan secara detil dalam sebuah cerpen yang ditulis Denny HR. Pinontoan berjudul “Mariara”:

“Saudara-saudara. Sudah dua warga kita yang menjadi korban sihir. Pelakunya sudah kita ketahui. “Nenek sihir”, nenek Omi sudah kita lenyapkan. Tapi masih juga ada korban yang berjatuhan. Ternyata, ilmu sihirnya telah diturunkan kepada lelaki yang sebentar lagi kita akan bakar ini, yaitu Yopi…”

Bakar dia! Lenyapkan mariara dari kampung kita!” warga berteriak sambil tangan mereka mengepal ke udara.

Iya, kita akan membakar dia. Tidak boleh ada mariara di kampung ini,” sambung Hukum tua. “Hari ini, kita akan membakar hidup-hidup mariara yang telah meresahkan kampung kita. Ini menjadi pelajaran bagi warga yang akan menjadi mariara. Tidak ada yang bisa lolos…”

Setelah hukum tua selesai berpidato, pendeta diminta untuk mendoakan kampung mereka agar dijauhkan dari gangguan kuasa-kuasa setan, seperti mariara. Dia mengakhiri doanya dengan berkata, “Dalam nama Yesus, kami akan melenyapkan kuasa jahat itu. Amin.”

Membaca kutipan cerpen yang di tulis seniman, budayawan Minahasa yang juga teolog ini, demikian mengutip Iverdixon Tinungki di www.barta1.com,  betapa mengerikan masa lampau dunia perdukunan dan sihir, termasuk juga di Minahasa.

Dalam parade Halloween di Irlandia yang disebut Savage Grace Galway, masyarakat setempat biasanya menghadirkan boneka raksasa nenek sihir, lengkap dengan serigala, dan burung hantu. Di Amerika Utara, penyihir disebut juga sebagai dukun dan ahli pengobatan. di Tuva, Rusia, ada dukun Ai-Churek. Di Minahasa, Sulawesi Utara, dukun atau penyihir disebut Mariara.

Perdukunan dan sihir sesungguhnya adalah penghinaan kepada dunia non medis yang telah memakan banyak korban. Satu dekade sejak statuta Raja James I diterapkan, tak sedikit individu yang dituduh, ditangkap, diadili, dan dihukum mati atas tuduhan terlibat dalam praktik sihir.

Muflika Nur Fuaddah, dalam sebuah artikelnya yang dilansir Intisari, Juli 2019, mengatakan perdukunan adalah cara yang digunakan manusia untuk memahami alam semesta dan tempat kita berada. Tidak terikat dengan dewa atau dogma tertentu, seorang dukun memperhatikan dirinya sendiri dengan alam dan menggunakan wawasan untuk menyembuhkan (secara fisik, mental, atau spiritual.

Menurut fuaddah Perdukunan bukan sihir, namun tentang keterhubungan dengan lingkungan, menciptakan energì positif, dan mencapai pontensi penuh dari diri.

Sama dengan pesan moral dalam cerpen yang ditulis Pinontoan, Fuaddah menyayangkan konsensus yang bekembang di antara para peneliti, cendekiawan, atau orang awam tentang apa sebenarnya dukun dan praktik perdukunan itu, sehingga mereka harus mati dalam suasana yang mengerikan.

Pinontoan, juga menyesalkan kekeliruan stigma yang terjadi selama ini terhadap dunia perdukunan itu dengan menghadirkan tokoh Yopi sebagai sosok yang dituduh mariara.

Sebelum dieksekusi, Pinontoan mengambarkan dimana tokoh Yopi menemukan tikus-tikus mati dari mata air yang menjadi sumber air minum masyarakat setempat. Di tengah api yang menyala-nyala memanggang tubuhnya, Yopi masih memegang erat tikus-tikus yang ditemukannya itu. Dia mungkin bermaksud menyampaikan pesan dengan tikus-tikus mati itu, kalau selama ini warga desanya mati karena penyakit pes. Dia dan nenek Omi bukan Mariara. Tapi, mereka telah mati dibakar.

Menurut Greenhill Weol, seorang budayawan Minahasa, Mariara adalah stigma yang mengerikan dan yang tak pantas dan tak patut dibicarakan.

“Di banyak kebudayaan berbagai suku bangsa, dunia perdukunan seperti Mariara itu dilarang dibicarakan. Ada semacam perjanjian tak tertulis untuk tidak dibicarakan. Namun di Tondano, masih marak orang membicarakan kemunculan makhluk halus Pontianak,” kata Weol.

Menurut dia, di Minahasa, praktik-praktik kultural semacam ritual-ritual fosso dan kercayaan-kepercayaan tua, termasuk ‘pengetahuan tua semacam Mariara, sejak dulu sudah diserang oleh mimbar gereja.

“Kemungkinan di masa lalu Mariara itu tidak menempati posisi menakutkan seperti sekarang, dimana mindset Kristen Barat sudah mendominasi,” kata dia.

Ketika para zendeling mendarat di Minahasa, mereka pasti mengalami culture shock, ungkap Weol. “Sebab berbeda dengan dunia yang mereka akrabi sebelumnya di Eropa, mereka menemukan sebuah pranata sosio-kultural yang berbeda. Dan seperti kebanyakan para pembawa Injil, apa yang ‘berbeda’ langsung di-label sesat,” imbuhnya.

Johanis Pontoan, lelaki paruh baya di Tomohon, memilih empertahankan budaya leluhur sebagai pilihan hidupnya. Dia sudah menjadi praktisi budaya tua Tanah Malesung, Minahasa, lebih dari empat dasawarsa. Kini, dia menjadi satu dari beberapa Walian tersisa dari sub-etnis Tombulu yang terserak di kaki Gunung Lokon.

Walian adalah kaum pandita yang memimpin ritual keagamaan. Kelompok yang juga memiliki kemampuan khusus mengobati atau “menganugerahi” kebal fisik bagi seseorang. Sambil memegang batang berdaun tanaman Tawa’ang’ para Walian menggunakan medium air, batu hingga akar-akar pohon dalam menjalankan misi spiritualnya.

Kemampuan itu juga kini diturun-temurunkan pada  Johanis Pontoan oleh pamannya. Di kediamannya, Kelurahan Tara-tara Kota Tomohon beberapa waktu lalu, Johny tengah mempraktikkan pengobatan khas Minahasa tua pada seorang lelaki yang mengaku anaknya mendapat gangguan saat bekerja di luar daerah. Dia meminta lelaki itu membawakan lima lembar jeruk swanggi.

“Ilmu ini saya dapat untuk menolong, bukan membuat susah orang,” cetus Johny beberapa waktu lalu pada Barta1.

Praktik budaya yang membawanya ke status sebagai Walian sudah ditekuni sejak berumur 12 tahun. Kini di usia ke-50-an, kemampuannya terasah matang. Bukan sedikit pasien yang datang meminta pertolongannya. Namun yang dia obati biasanya adalah penyakit ‘kiriman’. Beberapa tahun silam pernah juga Johny memimpin ritus perkawinan yang dilakukan dalam ragam budaya Minahasa.

“Melaksanakan tugas sebagai Walian menjadi panggilan jiwa buat saya, bisa menyembuhkan orang juga berarti saya ikut menjaga budaya Minahasa tetap hidup dan diyakini kemampuannya,” ujar dia.

Masing-masing Walian punya kekhususan tersendiri dalam menjalankan ritual. Ada yang bisa memanggil dan menerjemahkan bahasa burung Manguni, yang disebut Pasoringan. Sedangkan kemampuan dirinya adalah berinteraksi langsung dengan leluhur.

Roh leluhur bisa menempati raganya untuk menjalin komunikasi dengan orang di sekitar. Bagi yang sakit, roh orang tua nantinya akan memberikan petunjuk soal tata cara pengobatan. Pun begitu, leluhur juga akan memberikan batu pegangan yang bisa memberi kesaktian kebal. Kemampuan yang dimiliki Johny biasa disebut Paka’ampetan.

Walau banyak pelaku agama purba Minahasa, tak semua serta-merta menjadi Walian. Dalam skala berbeda, mereka bisa disebut Tona’as. Menurut Johny, di masa lalu, Tona’as adalah bagian penting dalam struktur sosial di suatu wanua atau desa. Kendati kemampuan mereka tidak seperti Walian, namun Tona’as juga bisa ikut membuat obat-obatan, menganugerahi penjaga diri, menjadi ahli cocok tanam serta ahli dodeso atau perangkap binatang. Para Tona’as akan maju berperang bila wanua-nya mendapat ancaman dari orang luar.

Dari mana kemampuan para Walian dan Tona’as berasal? Johny meyakini ini adalah warisan Opo Toar, leluhur orang Minahasa. Ilmu itu diturunkan pertama kali pada turunan Opo Toar dan Lumimuut yakni leluhur sub-etnis Temboan, Tombulu dan Tounsea. Kanuragan itu, diyakini sesuai ajaran yang dia terima berasal sebuah Zat yang menguasai alam semesta. Kuasa itu bukan mirip sistem dewa-dewi dari suku bangsa lain. Johny menyebut, dalam praktik agama purba, orang Minahasa telah mengenal Tuhan.

“Ilmu pengobatan dan kesaktian diajarkan oleh Opo Toar dan turun-temurun ke semua keturunannya orang Minahasa, namun yang terpenting semuanya itu merupakan pemberian Opo Empung Wailan atau Tuhan yang menciptakan langit dan bumi,” kata Johny.

Lirik doa Walian dalam seluruh ritual menunjukkan keberadaan kuasa yang lebih tinggi dari akal manusia. Salah satunya dalam awal permohonan mengobati: Tali-talingan ni Opo Empung Wailan Wananatas, niaku Tona’as Walian mengopei wianiko Ni Opo Empung Wailan Wananatas, niaku mower umpanawar wia si puyun kararawoi. Artinya, Tuhan yang Maha Tinggi, saya Tona’as Walian meminta kepada Tuhan yang Maha Tinggi untuk mengobati cucu yang sakit.

Kemudian, Ni anamo un tawa’ang pe’pespes ni Walian meirengan untana, mei kulele ni Opo Walian wiantana pinaesaan, wia sendangan, wo ma patalikuran, wanan timu wo wana amian, nianamo aantumepima u sumakit karawoi ni puyun. Artinya, Tuhan ini tawa’ang tanaman yang berasal dari tanah yang dibawa leluhur Walian mengelilingi Tanah Minahasa, dari Timur ke Barat, Selatan ke Utara, ini yang akan menyapu sakit penyakit dari si cucu.

“Secara filosofi, doa ini memohon pada Tuhan untuk memberkati medium yang akan digunakkan mengobati,” terang Johny.

Kemampuan Walian maupun Tona’as merapal doa ternyata berada di batas nalar manusia. Lirik demi lirik tak pernah tertulis secara khusus dalam bentuk buku yang diwariskan. Itu menurut Johny, dibisikkan oleh para leluhur yang kemudian terhapal dengan sendirinya.

“Tidak ada catatan-catatan khusus, roh orang tua yang langsung menyampaikannya kepada kami dan kemudian terhapal,” katanya.

Steven Maramis, salah satu praktisi budaya tua Minahasa mengatakan banyak tantangan yang dihadapi di masa sekarang. Ini karena ketika budaya lokal bertabrakan dengan agama yang dianut masyarakat menghasilkan stigma negatif dilekatkan pada kaum Tona’as dan Walian. Beberapa praktisinya menurut Steven bahkan mengalami pengucilan, dijauhi warga sekitar tempat tinggal. Juga difitnah karena dianggap menjadi pembawa bala.

“Secara moril pelaku budaya terintimidasi oleh anggapan bahwa mereka adalah tukang jampi yang bergaul dengan roh jahat, sesuatu yang dalam ajaran agama harus dijauhi, tapi pada kenyataannya tetap saja banyak orang (beragama) yang menemui Tona’as ketika mereka sakit,” sebut Steven.

Bagi dia praktik Tona’as dan Walian harus dipertahankan. Pertama, ini adalah budaya khas orang Minahasa yang patut dilestarikan. Kedua, Steven menganggap Walian bisa ikut mengobati yang membuat tugasnya tidak berbeda dengan tenaga medis.

Praktisi budaya yang tersebar di Kabupaten Minahasa induk, Minahasa Tenggara, Kota Tomohon, Minahasa Selatan, Minahasa Utara bahkan Kota Bitung tetap diperlakukan sama dengan pemeluk agama arus utama.

“Sesungguhnya yang menjadi pelaku budaya tua Minahasa adalah pemeluk agama juga, jadi itu pula yang dicantumkan di kartu identitas, kami ikut datang di ibadah dan sembahyang pada Tuhan dan tentu saja mengimani Tuhan dalam kehidupan sehari-hari,” tandas dia.

Akademisi Katolik Pst Paul Richard Renwarin Ps ikut mendalami budaya Minahasa. Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng di Kabupaten Minahasa itu membedakan Walian sebagai peran sosial di tengah masyarakat Minahasa tua.

“Walian berasal dari kata wali artinya pengantar, mereka lebih sebagai pembimbing spiritual, mereka menjalankan social role,” sebut Richard.

Sementara Tona’as lebih kepada gelar yang disematkan masyarakat kepada sosok yang unggul. Etimologinya berasal dari kata Tou yang artinya orang dan Ta’as artinya unggul.

Di masa kini, sebagian orang Minahasa modern mempersempit peran Tona’as Walian sebagai tukang berobat. Walau kedengarannya baik, tapi terkandung stigma negatif di dalam situ. Tona’as dan Walian dianggap sebagai dukun yang mempraktikkan ilmu gaib. Tugas-tugas mereka di tengah masyarakat mulai terganti ketika agama Kristen masuk tanah Minahasa.

Upaya pekabaran injil salah satunya dilakukan dari pendekatan pendidikan dan agama memiliki identitas baru, “sehingga peran Tona’as dan Walian diganti oleh sosok-sosok yang telah mendapat pendidikan formal,” kata Richard.

Mempelajari budaya Minahasa serta agama purbanya, Richard menemukan figur Opo Empung Wailan dalam doa-doa para Tona’as Walian sejatinya bukan Sang Pencipta. Figur itu menurut dia jamak dan benar-benar merujuk pada leluhur atau para pendahulu. Istilah Opo berasal dari kata pu dari rumpun Astronesia yang artinya dihormati. Kata yang sama dengan pengertian persis sama pula digunakan masyarakat daerah-daerah lain di Indonesia, seperti

Istilah ini bahkan ditemukan mulai dari Fiji, masuk ke Maluku, Kalimantan, Jawa hingga Sumatera.

“Jadi Pahopoan di Minahasa adalah kelompok yang diluhurkan, yang disembah berdasarkan kategori keilahian dan buka pada sosok yang esa, leluhur adalah sosok-sosok terdahulu yang dianggap memulai segala sesuatu. Nanti ketika Kekristenan hadir maka agama memiliki identitas baru di mana paradigma itu dirombak mengacu cuma pada 1 saja yang bisa disembah,” jelas Richard.

Simbol-simbol Kristen seperti salib dan pemakaian ayat Alkitab dalam prosesi dan ritual, ditemukan Richard sebagai upaya pemberi legitimasi dalam praktik budaya kelompok Tona’as dan Walian di era modern. Alkitab tidak digunakan sebagai bacaan, tapi lebih berfungsi sebagai wahana meramal.

Simbol salib digunakan untuk membuat ritual menjadi lebih bergengsi. Ini menurutnya merupakan bisa disebut sinkritisme. Dalam ritual tradisi, simbolisasi agama monotheism sesungguhnya bukan substansi tapi lebih sebagai aksesoris.

Kepercayaan dalam budaya asli Minahasa ini lanjut Richard tidak bakal lekang dimakan jaman, selama masih ada kelompok dan individu yang mempraktikkannya. Prosesnya berjalan dinamis, bahkan meluap di waktu-waktu tertentu yang mempengaruhi hajat hidup masyarakat. Dia ingat, tahun 1998 ketika negara dilanda krisis ekonomi, dari Minahasa justru bermunculan Tona’as-Tona’as muda.

Agama dan budaya adalah sesuatu yang berbeda. Richard pernah ikut memimpin ritual pemindahan waruga (kubur kuno orang Minahasa), sempat mendapat pertentangan dari pemuka agama. Namun bagi dia ada perbedaan besar antara menghormati dan menyembah.

“Dari pada mempertentangkan, kami kemudian lebih memilih untuk mempelajarinya,” cetus rohaniawan yang memelajari antropologi budaya di Universitas Leiden Belanda itu.

Dalam mendalami budaya Minahasa, banyak kesulitan yang dia temui. Penyebabnya tidak banyak peninggalan berbentuk tulisan untuk menggali kisah-kisah masa lalu. Yang paling tua adalah tulisan gubernur jenderal Ternate dari abad ke-17 yang menyempatkan diri mampir ke Tanah Malesung.

Namun tidak banyak yang bisa didapat dari catatan perjalanan tersebut. Selebihnya orang Minahasa mewariskan sejarahnya lewat tuturan. Selebihnya pun belum ada upaya arkeologi yang secara detil mengungkap arti simbol-simbol purba di situs peninggalan sejarah Batu Pinabetengen. Lokasi di Desa Kiawa Minahasa ini diakui merupakan tempat pertemuan para Tona’as di masa lalu untuk mengambil berbagai keputusan menyangkut kemaslahatan rakyat.

Budaya batu yang sering menjadi jimat kebal bagi pelaku budaya, menurut dia harus didalami dari pendekatan semiotika karena standar yang digunakan berbeda dengan ilmu-ilmu fisika. Hingga kini masih banyak orang Minahasa yang meminta jimat batu pada Tona’as sebagai pegangan. Dari berbagai fakta yang terjadi di tengah masyarakat modern nampak jelas pemegang jimat batu memang kebal senjata tajam. Bagi Richard, memang ada unsur misterius yang mengitari budaya Minahasa.(disarikan dari www.barta1.com) . (*/red)

Continue Reading

Trending

× Kontak Redaksi