Connect with us

Artikel

Pengacara Korban Pembunuhan yang Melibatkan Anak Boss Prodia Terindikasi sebagai Makelar Kasus

Solichin

Published

on

Oleh: Wilson Lalengke_

Oknum pengacara keluarga korban pembunuhan yang melibatkan anak boss Prodia, Advokat Toni, S.H., terindikasi berperan sebagai makelar kasus yang mengatur penerimaan uang damai dari keluarga tersangka kepada keluarga korban, dengan bukti adanya penyerahan uang Rp300 juta kepada keluarga korban disertai penandatanganan surat perjanjian perdamaian.

Diketahui bahwa surat perjanjian itu dikonsep oleh Toni bersama tim-nya dan ditanda-tangani di depan advokat yang berkantor di Lt. 2 Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat itu. Salah satu klausul dalam perjanjian perdamaian tersebut adalah bahwa kedua belah pihak setuju kasus pembunuhan ini tidak dilanjutkan.

Hal tersebut terungkap dalam sebuah acara televisi swasta Nasional bertajuk Main Suap di Kasus Pembunuhan, Selasa malam, 4 Februari 2025. Dalam tayangan acara yang menghadirkan Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiotomo; Ketua IPW, Sugeng Santoso; dan Ahli Forensik Reza Indragiri, itu ditayangkan video berisi detik-detik penandatanganan perjanjian perdamaian antara keluarga korban dan keluarga tersangka disaksikan pengacara kedua belah pihak.

Walaupun Toni beralasan kasus ini adalah delik biasa, bukan delik aduan, yang artinya negara berkewajiban mengusut kasus tersebut hingga tuntas terlepas dari adanya uang damai, namun dari sikap diamnya usai penyerahan uang damai terhadap kasus ini, hal tersebut dapat dimaknai bahwa dia juga berharap kasusnya tidak dilanjutkan.

Dari momen saat penyerahan uang Rp300 juta kepada keluarga korban pada Mei 2024 hingga pemanggilan polisi di bulan September 2024, terdapat 4 bulan jedah waktu dimana kasus itu terkesan dipetieskan.

Keluarga korban juga terlihat pasrah dan tidak lagi meributkan kasus kematian anaknya, hal mana mengindikasikan bahwa akibat “uang suap” yang diterimanya menjadikan mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Kasus ini akhirnya mencuat ke publik setelah diviralkan tentang dugaan pemerasan miliaran rupiah oleh oknum mantan Kasatreskrim Jakarta Selatan, AKBP Bintoro.

Dugaan pemerasan tersebut berdasarkan pada adanya gugatan perdata di PN jakarta Selatan oleh tersangka pelaku pembunuhan dengan tergugat AKBP Bintoro bersama beberapa pihak lainnya.

Dari sisi pengacara tersangka, advokat Evelin Dohar Hutagalung, sudah terang-benderang bahwa dia adalah makelar kasus yang bekerja keras untuk melepaskan kliennya dari jeratan hukum. Hal tersebut dapat dimaklumi, tapi tidak boleh dibiarkan.

Pengacara model begini harus diproses hukum dan disanksi berat, yakni 2 kali lebih berat dari hukuman bagi masyarakat umum yang melakukan pelanggaran pidana yang sama.

Advokat Toni, S.H. semestinya tidak boleh dibiarkan lepas tangan dari sengkarut hukum transaksional yang melingkupi kasus pembunuhan anak manusia yang terjadi. Toni harus diproses hukum sebagaimana halnya pengacara tersangka, advokat Evelin, atas sangkaan melakukan praktek makelar kasus. Minimal yang bersangkutan harus diproses Kode Etik Advokat oleh organisasi advokat yang menaunginya.

Kepada seluruh masyarakat dihimbau agar mulai memperbaiki dan atau merobah pola pikir berhukum di negara ini, jangan sekali-sekali bermain uang, suap-menyuap, dengan dalih uang perdamaian, khususnya untuk kasus-kasus berat seperti pembunuhan dan korupsi.

Kita sudah apatis terhadap para penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara, bahkan lembaga-lembaga pengawas dan penjaga kehormatan penegak hukum seperti kompolnas, ombudsman, DPR, dan lainnya.

Saat ini, tertinggal harapan pada diri masing-masing untuk memperbaiki kondisi hukum di negeri ini melalui penerapan hukum yang benar tanpa menghadirkan intervensi uang dan kuasa di dalamnya. Semoga. (*)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel

Demi Politik Akomodasi, YSK Sedang Giring BSG ke Arah Bangkrut

Redaksi

Published

on

By

Catatan: Reky Simboh

Kepiawaian Yulius Selvanus yang berhasil memenangkan kontestasi Pilgub di luar kalkulasi banyak kalangan, kini mulai diuji. Keputusan ‘politik akomodasi’ yang diterapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) Bank SulutGo (BSG) yang diambilnya, justru bagai menggiring bank ini ke arah kebangkrutan.

Tak hanya akan limbung. BSG terancam akan almarhum seperti nasib dua lembaga keuangan Sulut lainnya beberapa tahun silam, Bank Tonsea dan Bank Pinaesaan.

Keputusan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Gorontalo yang juga diambil lima kabupaten/kota di daerah itu untuk menarik seluruh dananya, saham maupun Kas Daerah di BSG, adalah penyebabnya.

Jangan dulu bahas soal Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17/2013 yang juga tak digubris YSK saat menempatkan empat orangnya di jajaran Dewan Komisaris BSG sebagai implementasi balas jasa politik.

Hitung saja, dari Outstanding Rp 16 Triliun di BSG, sekitar Rp 4 Triliun sampai dengan Rp 4,5 T berasal dari wilayah Gorontalo. Artinya ada porsi kredit Gorontalo sebesar 25 % sampai dengan 30 %.

Coba dibayangkan bila itu bermasalah, kira-kira berapa Non Performing Loan (NPL, kredit macet) yang harus ditanggung BSG ? Bukankah ada di kisaran 25 %- 30%?. Sementara (batas toleransi yg diperkenankan hanya hanya 3,5%.

Untuk menutup itu, biasanya bank sudah menyiapkan dana cadangan yang disebut CKPN. Pertanyaannya berapa nilai yang harus dibentuk ?.

Dengan kondisi seperti itu, apakah target laba Rp 400 miliar yang dibebankan kepada direksi, saat YSK masih bertoleransi mempertahankan seluruh personelnya, masih realistiskah ?

Ini baru efek Gorontalo. Jikapun langkah ini juga diikuti seluruh kepala daerah Bolaang Mongondow Raya (BMR) yang juga tokohnya ikut “terpinggirkan” dalam RUPS-LB, berapa risiko yang harus ditanggung Sulawesi Utara hanya karena ikut sikap YSK?

Tujuh pemerintah daerah di Provinsi Gorontalo tercatat sebagai pemegang saham Bank SulutGo (BSG).

Secara akumulatif, total nominal saham di BSG ini mencapai Rp235.068.900.000 atau Rp 235 miliar.

Jumlah itu setara dengan 19,34 persen dari total keseluruhan saham BSG yang mencapai Rp1,2 triliun.

Kekuatan saham ini menjadikan Gorontalo signifikan dalam pengambilan keputusan strategis di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), termasuk dalam menentukan arah kebijakan, evaluasi kinerja, hingga penunjukan jajaran direksi dan komisaris.

Adapun rinciannya sebagai berikut:

  • Pemprov Gorontalo: Rp72.978.500.000 (5,79 persen)
  • Pemkab Boalemo: Rp48.161.200.000 (3,82 persen )
  • Pemkot Gorontalo: Rp34.024.300.000 (2,70 persen )
  • Pemkab Gorontalo: Rp25.838.600.000 (2,05 % )
  • Pemkab Gorontalo Utara: Rp22.699.600.000 (1,80 % )
  • Pemkab Pohuwato: Rp18.458.500.000 (1,46 % )
  • Pemkab Bone Bolango: Rp13.015.400.000 (1,03 % )

Meski saham terbesar masih dikuasai Pemprov Sulawesi Utara (35,88 % ) dan PT Mega Corpora (24,82 % ), posisi Gorontalo berpotensi menjadi penentu jika terjadi dinamika tarik-menarik dalam forum RUPS. (*)

Continue Reading

Artikel

Erick Thohir Harus Mundur: Pertanggungjawaban atas Mega Korupsi di PT Pertamina

Redaksi

Published

on

By

Oleh: Ali Syarief_

Ketika berbicara tentang tanggung jawab seorang menteri, khususnya dalam mengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), integritas dan akuntabilitas adalah dua hal yang mutlak. Erick Thohir, sebagai Menteri BUMN, semestinya memahami bahwa mega korupsi yang terjadi di PT. Pertamina bukan hanya sekadar skandal keuangan, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam kepemimpinannya.

Ironisnya, alih-alih menunjukkan rasa tanggung jawab yang mendalam, Erick Thohir justru masih bisa tampil dengan wajah sumringah di depan publik, seolah tidak ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan.

Kasus korupsi di PT. Pertamina yang merugikan negara hingga triliunan rupiah seharusnya menjadi tamparan keras bagi Pemerintah. Ini bukan sekadar kesalahan individu atau oknum tertentu, tetapi bukti nyata dari kelemahan pengawasan dan tata kelola yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh seorang Menteri BUMN.

Dalam sistem pemerintahan yang sehat, setiap menteri yang gagal menjalankan tugasnya dengan baik harus siap mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral. Namun, yang kita saksikan adalah sikap sebaliknya: pembelaan diri tanpa refleksi dan tanpa konsekuensi nyata.

Sikap Erick Thohir yang terkesan santai di tengah besarnya skandal ini justru memperburuk citra pemerintahan Jokowi di masa lalu, yang dilanjutkan Presiden Prabowo saat ini.

Masyarakat berhak mempertanyakan, apakah pemimpin seperti ini yang layak dipercaya mengelola aset-aset negara? Jika seorang pejabat publik tidak merasa malu atau terbebani dengan keterlibatan kementeriannya dalam kasus korupsi besar, maka ini adalah sinyal buruk bagi masa depan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.

Keengganan untuk mundur menunjukkan bahwa pejabat di Indonesia masih jauh dari budaya pertanggungjawaban politik yang seharusnya.

Di negara-negara dengan sistem demokrasi yang matang, seorang pejabat yang institusinya tersandung skandal besar akan segera mengundurkan diri sebagai bentuk penghormatan terhadap jabatan yang diembannya.

Namun di Indonesia, jabatan justru dipertahankan mati-matian meskipun kepercayaan publik sudah jatuh ke titik terendah.

Mega korupsi di PT. Pertamina seharusnya menjadi momentum untuk perbaikan, bukan justru ditutupi dengan berbagai narasi pembelaan yang menyesatkan.

Jika Erick Thohir benar-benar memiliki integritas, seharusnya ia tidak menunggu desakan publik untuk mundur, melainkan secara sukarela mengambil langkah itu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.

Lebih jauh, bukan hanya pengunduran dirinya yang dituntut, tetapi juga langkah hukum yang tegas untuk menyeret semua pihak yang terlibat dalam skandal ini.

Negara ini membutuhkan pemimpin yang berani menghadapi konsekuensi dari kegagalan mereka, bukan yang sekadar lihai berkomunikasi dan mencari perlindungan politik.

Jika budaya impunitas seperti ini terus dibiarkan, maka jangan heran jika kasus-kasus korupsi semakin menggurita dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin runtuh.

Erick Thohir, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kebijakan di BUMN, tidak boleh hanya diam dan terus menjalankan tugasnya seolah tidak ada yang terjadi.

Sudah saatnya bagi dia untuk mundur dan mempertanggungjawabkan kegagalannya dalam mengelola perusahaan-perusahaan negara dengan baik. (*)

Continue Reading

Artikel

Bitung Pada Satu Titik: DARI MMHH KE HHRM

Redaksi

Published

on

By

By : Kex

Tidak ada satu rezim yang bersifat permanen, pun di tata kelola pemerintahan. Setiap periode selalu akan ditandai munculnya sosok pemimpin baru apakah dari satu warna politik yang sama ataupun berbeda.
Entah apakah pula proses pergantian itu berlangsung mulus atau pun berjalan penuh diksi dan kontraksi, tetap juga semua akan bermuara pada satu titik : suksesi kepemimpinan.

Begitupun yang terjadi saat genta pelantikan serentak ditabuh, mereka yang dilantik segera kembali ke daerah masing masing dan memulai agenda membumikan visi misi dan program prioritas sebagaimana yang didengungkan selama kampanye.

Itu pula yang sementara berproses di kota Bitung, pasca era Maurits Mantiri selesai, lokomotiv kepemerintahan ada dalam tuas gerak Hengky Honandar dan Randito Maringka.
Seperti apapun konstalasi yang ada, sudah menjadi sebuah kemestian agar semua komponen memberi ruang seluas mungkin bagi HHRM untuk membangun kota ini.

Energi dan spirit objektif serta konstruktif harus lebih dominan mendapatkan ruang menindih sikap kenes, infantil dan aroma rivalitas yang masih merebak secara sporadis.

Saatnya move on memberi ruang dan suport bagi kepemimpinan baru membangun kota ini menjadi lebih baik. Bahwa lepas dari kekurangan dan kelemahan MM tetap telah mematri karya selama kepemimpinannya, saat ini tongkat kepemimpinan dipercayakan kepada sosok HH yang memiliki kematangan emosional dan spirituil, disokong energi muda RM, kolaborasi mereka akan efektif jika disuport secara proporsional oleh semua lini dengan tetap memberi ruang bagi mekanisme kontrol publik secara kritis etis.

Akhirnya banyak selamat HHRM selamat menapaktilasi esensi kepemimpinan sebagaimana frasa George R. Terry, “Kepemimpinan adalah kegiatan memengaruhi orang lain agar mau berjuang demi tujuan bersama”.

Terimakasih buat BPK Maurits Mantiri atas kiprah satu periode dan selamat melayani untuk Walikota Hengky Honandar dan Wakil Randito Maringka. Selamat membangun kota Bitung yang makin baik.(*)

Continue Reading

Trending

× Kontak Redaksi