Artikel
PDIP Sulut: Setelah Olly, Siapa Mengemudi?

Catatan Pinggir
By : Reymoond ‘Kex’ Mudami
Sulawesi Utara punya sejarah panjang soal kepemimpinan politik. Dari era F.J. Tumbelaka, yang meletakkan fondasi pemerintahan daerah, hingga figur keras kepala nan berani macam Willy Lasut yang tak segan melawan arus pusat. Politik Sulut selalu melahirkan narasi tentang siapa yang memimpin, siapa yang berani, dan siapa yang benar-benar punya legitimasi di mata rakyat.
Kini, cerita itu masuk babak baru. PDIP Sulut, yang sejak lama jadi “rumah besar” bagi mayoritas rakyat, harus bersiap menata arah pasca Olly Dondokambey. Dua periode Olly bukan hanya soal jabatan, melainkan juga soal konsolidasi: bagaimana ia membuat PDIP benar-benar menjadi partai dominan di Sulut. Namun kini, Olly harus lebih sering berada di Jakarta, mengemban peran besar sebagai Bendahara Umum DPP PDIP.
Pertanyaannya sederhana, tapi krusial: siapa yang akan mengemudi PDIP Sulut ke depan?
Bayang Dinasti yang Kental
Politik kita sudah sering memberi contoh bagaimana “darah politik” menjadi modal. Wacana tentang Rio Dondokambey, putra Olly, tentu tak bisa diabaikan. Sulut pun punya sejarah tentang pewarisan politik keluarga: mulai dari Tumbelaka hingga generasi sekarang, benang merah itu selalu ada.
Namun, apakah publik Sulut akan menerima regenerasi dinasti ini begitu saja, ataukah menuntut proses yang lebih meritokratis?
Figur Lain yang Mengintip Panggung
Sejarah PDIP di Sulut tak pernah sepi dari nama-nama kuat. Ada Steven Kandouw, mantan Wakil Gubernur yang dikenal dengan gaya teknokratiknya. Ada Maurits Mantiri, mantan Wali Kota Bitung, yang sedang dalam fase pasca kepemimpinan daerah dengan performa humanis dan jaringan berbasis pelayanan di GMIM. Bahkan ada Andre Ang saat ini kokoh memimpin Kota Manado, wajah muda yang bisa menjadi simbol segar partai, juga masih ada kader lainnya yang tergolong kapabel buah regenerasi kontinyu di tubuh moncong putih.
Konteks ini mengingatkan kita pada era ketika PDIP Sulut sempat menghadapi fragmentasi internal—ingat masa-masa ketika Bert Supit atau tokoh lokal lain harus berhadapan dengan arus pusat? Pertanyaannya: apakah kali ini partai bisa menjaga soliditas, atau justru akan mengulang babak konflik internal itu?
Olly: Tetap Bayangan Besar
Meski secara formal akan lebih banyak berkutat di pusat, bayangan Olly masih terlalu besar untuk diabaikan. Dengan posisinya di DPP, ia tetap bisa mengatur ritme, memberi restu, bahkan menentukan arah partai di daerah. Bedanya, kali ini ia lebih mirip “king maker” ketimbang “pemain utama”.
Persimpangan: Dinasti atau Meritokrasi?
Inilah titik kritis PDIP Sulut. Apakah partai akan memilih jalan dinasti yang kental di banyak daerah Indonesia, ataukah meneguhkan jati diri sebagai partai kader, tempat setiap orang berpeluang naik berdasarkan rekam jejak dan kapasitas?
Pilihan ini akan berimplikasi langsung pada arah Pilkada 2024–2029, mesin partai di akar rumput, dan bahkan posisi PDIP sebagai partai dominan di Sulut.
Catatan Reflektif
Dari Tumbelaka hingga Willy Lasut, dari era Benny Matindas hingga Olly Dondokambey, Sulawesi Utara selalu mengajarkan bahwa kepemimpinan politik di sini bukan sekadar soal kursi. Ia soal legitimasi moral, soal keberanian, dan soal kemampuan mengikat rakyat dalam satu narasi kebersamaan.
Maka, setelah Olly, siapa pun yang naik bukan hanya akan diuji di internal partai, tapi juga di mata rakyat Sulut yang terkenal kritis.
Apakah PDIP Sulut tetap kokoh sebagai banteng merah yang solid, atau justru membuka celah bagi munculnya kekuatan baru? Sejarah politik daerah.(*)
*) Teras Rumah, Lorong Cantik Bitung , sembari memandang ruas jalan sisa banjir dan genangan air.
