Connect with us

Artikel

“Langkah Senyap Sang Jenderal”Selayang Amatan Kiprah Gubernur YSK

Redaksi

Diterbitkan

pada

By

FB IMG 1754275070019

Semacam Reportase : Reymoond ‘Kex’ Mudami

mediakontras.com – Pagi itu, dermaga Manado masih lengang. Ombak berulang kali memukul tiang-tiang kayu, mengirim bunyi yang akrab bagi telinga warga pesisir. Yulius Selvanus Komaling berdiri di ujung papan, menatap laut yang membentang. Dari tatapannya, jelas ia bukan sekadar melihat air dan ombak. Ia sedang membaca peta—peta yang hanya bisa dibaca oleh orang yang terbiasa menghitung jarak, arah angin, dan titik kritis di medan.

Naluri itu lahir di masa mudanya, ketika ia masih berseragam loreng. Ia pernah memimpin operasi malam di sebuah daerah yang tegang. Hanya ada cahaya samar dari pos jauh, dan radio genggam di tangannya memanggil lirih: ada pergerakan musuh di jalur utama.

“Kita tidak boleh gegabah,” ia berbisik kepada perwira pendampingnya malam itu. “Perang itu bukan soal siapa yang bergerak duluan, tapi siapa yang bergerak tepat waktu.”

Ia memutuskan untuk memecah pasukan menjadi dua jalur, mengambil rute yang tidak diperkirakan lawan. Saat fajar datang, posisi sudah terkunci, operasi selesai tanpa korban. Dari pengalaman itu, satu prinsip melekat di kepalanya: kesabaran adalah bagian dari strategi.

Kini, medan itu bernama Sulawesi Utara. Lawannya bukan senjata, tapi kemiskinan, infrastruktur yang timpang, dan peluang yang belum dioptimalkan. Tapi cara berpikirnya tetap sama—kenali peta, atur logistik, lalu eksekusi saat momentum tiba.

Di ruang rapat, ia jarang memotong pembicaraan. Ia biarkan data dipaparkan, memberi ruang bagi semua suara. Namun ketika ia angkat bicara, kalimatnya ringkas dan bernada komando:
“Prioritaskan jalur distribusi pangan.”
“Kunci anggaran di sektor yang berdampak langsung.”
“Buka peluang investasi, tapi jangan korbankan kedaulatan kita.”

Beberapa orang mengeluh, “Pak Gubernur ini lambat…” Ia hanya tersenyum kecil saat hal itu sampai ke telinganya. Dalam satu pertemuan tertutup, ia berkata pada stafnya,

“Biar saja mereka bilang kita lambat. Lebih baik lambat tapi tepat, daripada cepat lalu kita harus membangun ulang dari awal.”

Di Minahasa Utara, ia duduk bersama para nelayan di bawah atap seng yang panas. Mereka bercerita tentang harga ikan yang tak sepadan. YSK mendengarkan tanpa mencatat di ponsel atau memanggil ajudan untuk berfoto. Setelah hening sejenak, ia berkata,

“Saya tidak akan janji cepat, tapi saya janji saat jalannya terbuka, itu akan kuat. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk anak-anak kalian.”

Bagi YSK, Sulut adalah markas besar yang harus dipersenjatai dengan pelabuhan terhubung ke darat dan udara, pertanian tangguh, perikanan bernilai tambah, dan pendidikan yang melahirkan tenaga terampil. Semua itu, dalam pikirannya, seperti membangun sistem pertahanan yang saling menopang dan tak mudah runtuh.

Di penghujung satu wawancara, ia pernah berkata lirih,

“Tugas saya bukan hanya memimpin hari ini. Tugas saya memastikan generasi berikutnya tidak lagi berperang dengan masalah yang sama.”

Dan mungkin, kelak ketika dermaga-dermaga ramai, jalan-jalan mulus, hasil bumi Sulut mengalir lancar, dan anak-anak pulang sekolah dengan senyum lebar, barulah publik mengerti: langkah senyap YSK bukan sekadar kebiasaan, melainkan strategi yang dirancang sejak awal—strategi seorang jenderal yang memimpin dengan kesabaran, perhitungan, dan pandangan jauh ke depan.(*)

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *