Connect with us

Artikel

“Kebijakan Ketenagalistrikan dalam Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sejak Berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023”

Redaksi

Published

on

Penulis: Dr. Janeman J. Lanawaang, S.H., M.H. dan  Defri Denny O. Tereima, S.H.

Undang-Undang Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 merupakan langkah terbaru dari pemerintah Indonesia untuk mereformasi berbagai sektor, termasuk ketenagalistrikan. UU ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi, mempercepat proses perizinan, dan meningkatkan investasi. Namun, perubahan tersebut juga menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artikel ini akan mengkaji bagaimana kebijakan ketenagalistrikan telah berkembang sejak berlakunya UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023, dengan fokus pada aspek perlindungan lingkungan.

Perubahan Regulasi dalam UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023

1.           Simplifikasi Izin Lingkungan

UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 mengubah mekanisme perizinan di sektor ketenagalistrikan dengan menggabungkan berbagai izin lingkungan menjadi satu Izin Usaha. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mempercepat proses perizinan dan meningkatkan efisiensi. Namun, terdapat kekhawatiran bahwa penyederhanaan ini bisa mengurangi standar perlindungan lingkungan yang selama ini diterapkan.

2.           Reformasi AMDAL

Perubahan pada persyaratan AMDAL termasuk penyederhanaan proses dan peningkatan batas proyek yang memerlukan AMDAL. Ini berarti bahwa proyek-proyek kecil hingga menengah mungkin tidak lagi memerlukan AMDAL, yang bisa berdampak pada kurangnya evaluasi mendalam terhadap potensi dampak lingkungan dari proyek-proyek tersebut.

Implementasi Kebijakan Perlindungan Lingkungan

1.           Teknologi Ramah Lingkungan

UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 mendorong adopsi teknologi ramah lingkungan dalam operasional ketenagalistrikan. Pemerintah memberikan insentif bagi penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Namun, realisasi di lapangan masih membutuhkan dukungan kebijakan tambahan dan investasi yang signifikan.

2.           Pengawasan dan Penegakan Hukum

Perubahan dalam pengawasan dan penegakan hukum lingkungan di bawah UU ini termasuk pendekatan yang lebih terpusat dan berorientasi pada pemulihan lingkungan daripada sanksi administratif atau pidana. Namun, efektivitas penegakan hukum ini masih dipertanyakan, terutama dalam menangani pelanggaran besar.

Studi Kasus: PLTU Batubara dan Energi Terbarukan

1.           PLTU Batubara

PLTU batubara masih merupakan tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia. Namun, operasional PLTU ini sering kali menyebabkan peningkatan emisi dan polusi. Meskipun terdapat regulasi yang ketat, implementasi dan pengawasan di lapangan masih sering tidak optimal, sehingga menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.

2.           Pengembangan Energi Terbarukan

UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 juga mempromosikan pengembangan energi terbarukan. Investasi dalam energi terbarukan meningkat, namun masih terdapat hambatan regulasi dan infrastruktur yang perlu diatasi untuk mempercepat transisi energi ini.

Opini Pemangku Kepentingan

1.           Pemerintah

Pemerintah menekankan bahwa UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 bertujuan untuk meningkatkan efisiensi regulasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa mengurangi perlindungan lingkungan. Namun, implementasi yang konsisten dan akuntabel di seluruh sektor masih menjadi tantangan.

2.           Aktivis Lingkungan

Aktivis lingkungan mengkritik UU Cipta Kerja karena dianggap menurunkan standar perlindungan lingkungan. Mereka khawatir bahwa penyederhanaan izin dan perubahan pada AMDAL bisa membuka peluang lebih besar bagi kerusakan lingkungan.

3.           Pelaku Usaha

Pelaku usaha menyambut baik UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 karena memberikan kepastian dan kemudahan dalam proses perizinan. Namun, mereka juga mengakui pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan lingkungan untuk keberlanjutan jangka panjang.

Kebijakan ketenagalistrikan dalam konteks UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 menunjukkan upaya pemerintah untuk meningkatkan efisiensi regulasi dan menarik investasi. Namun, perubahan ini juga menimbulkan tantangan dalam hal perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Untuk memastikan keberlanjutan, diperlukan pendekatan yang seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Penguatan pengawasan, peningkatan partisipasi publik, dukungan terhadap energi terbarukan, dan edukasi lingkungan adalah langkah-langkah penting yang perlu diambil.

1.           Penguatan Pengawasan dan Penegakan Hukum

Meningkatkan kapasitas pengawasan dan penegakan hukum oleh instansi terkait untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.

2.           Peningkatan Transparansi dan Partisipasi Publik

Melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan operasional sektor ketenagalistrikan.

3.           Dukungan terhadap Energi Terbarukan

Meningkatkan investasi dan insentif untuk pengembangan energi terbarukan guna mengurangi dampak lingkungan dari ketenagalistrikan.

4.           Edukasi dan Kesadaran Lingkungan

Meningkatkan program edukasi lingkungan untuk masyarakat dan pelaku usaha guna memperkuat kepatuhan terhadap regulasi lingkungan. (*)

2 Comments

2 Comments

  1. Denny

    28 Mei 2024 at 10:21

    “Studi kasus yang disajikan menunjukkan realitas lapangan dan pentingnya transisi menuju energi terbarukan. Kebijakan ini benar-benar mendorong perubahan yang sangat dibutuhkan dalam sektor ketenagalistrikan Indonesia.”

  2. sevano tumober

    28 Mei 2024 at 10:28

    Dorongan penggunaan teknologi ramah lingkungan dalam sektor ketenagalistrikan adalah langkah maju yang signifikan. Kebijakan ini tidak hanya membantu mengurangi emisi karbon, tetapi juga membuka peluang baru bagi pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel

Meresapi Lelehan Senjakala(Refleksi Dua Puluh Lima Tahun Kembara Media)

Reky Simboh

Published

on

Oleh : Emon Kex Mudami

The World is Flat….., (Thomas Friedman)

Apakah catatan sederhana ini terlecut oleh momentum Hari Pers 9 Februari baru lewat, entahlah. Yang pasti saya lebih nyaman menyebut sebagai proses berkontemplasi, berefleksi atas dunia (ke)media(an) atau jurnalis yang sudah —atau boleh juga baru- digeluti 25 tahun terakhir.

Ketika era makin terdigitalisasi, bidang media informasi komunikasi (mainstream, terutamanya surat kabar), termasuk salah satu yang mengalami efek melting (pencairan) dari konsep kerja sebagaimana biasa.

Fase senjakala media cetak ini perlahan namun pasti, terus merambah dari belahan barat sampai ke ceruk Asia.
Linier dengan gerak pelelehan itu, para pewarta melakukan apa yang saya sebut sebagai proses beradaptasi terhadap seleksi alam yang sementara berlangsung.

Sedikitnya ada tiga corak survive yang terlihat, pertama yang murni bertahan sambil melakukan berbagai inovasi (?) terhadap pasar yang sebetulnya sudah nyaris jenuh, kedua yang secara bertahap bersulih pola dari mainstream ke online atau alternative, dan ketiga mungkin ini lebih pas pada tataran personal adalah yang memilih total berkiprah di luar media.

Tentu pemetaan rada prematur di atas lebih bersifat amatan empiris belaka dan masih sangat terbuka ruang divisualkan lebih smooth lagi.

Saya selalu mengambil posisi memaklumi pilihan yang diambil oleh masing masing pekerja di bidang ini terutama kaum pewarta, sah saja kita memiliki pretensi dan sikap beragam terhadap proses yang ada.

Olehnya saya tidak bisa mendebat misalnya, jika —ijin- senior Joppie Worek telah hampir sepuluh tahun silam mengakui mulai tidak lagi membaca suratkabar karena langsung nyetel dengan android di mana media mainstream maupun alternative berselieweran tanpa batas.

Belakangan sosok yang total hampir 34 tahun aktif sebagai jurnalis itu menyebut memilih jadi WMS alias Wartawan Media Sosial, sekadar menyalurkan kesukaan menulis.

Namun di situasi yang lain, memaklumi mereka yang tetap bertahan melakoni rutinitas profesi, seolah putaran kaki sang waktu belum digerus oleh globalisasi dan high tech.

Adanya pernyataan masih terus belajar sebagai jurnalis misalnya, bisa dipetakkan sebagai sebuah bentuk totalitas walau tetap saja paradoks diperhadapkan dengan gerak jaman kekinian .

Saya meminta maaf, lebih dari sekali mendebat cukup sengit, teman teman yang masih eksis perihal kekauan mereka dalam mengeksekusi era keterbukaan media saat ini.

Saya berpikir ketika nyaris semua pintu multi media terkuak dan bisa diakases dengan mudah oleh netizen, sejogjanya pelaku media juga berlaku lebih terbuka dengan memberi akses seluas-luasnya ruang atau space media terhadap publik.

Bahwa dengan pertimbangan, seperti kata Friedman saat ini dunia telah menjadi datar bahkan tanpa batas (borderless), di mana koneksi publik dengan media tidak sesulit dulu, seseorang yang tidak memiliki bekal ilmu wartawan sekalipun, secara spontan bisa menampilkan news dengan unsur 5W + 1H meski serampangan melalui akun, grup atau berbagai instrumentasi lainnya.

Frame ini yang sepertinya luput dipertimbangkan, dengan kata lain jika dulu saluran publik masih sangat terbatas hanya pada kanal atau ruang media mainstream, namun saat ini ruang itu telah jauh meleleh.
Publik dapat berinteraksi secara massif baik melalui media online ataupun media alternative.

Inilah cuilan potret media kekinian, dimaui atau tidak khusus main stream akan tiba pada tingkap paling nadir, senja yang paling senja.

Mengutip terminilogi Kementerian Kominfo, dalam konteks pemasaran media mainstream tengah menghadapi vonis mati. Orang-orang media perlu bersegera menata diri, beradaptasi dengan era konvergensi .

Dalam motivasi ber-konvergen itu, mohon maaf jika kemarin saya sempat mencandai seorang sahabat melalui percakapan via wa, ia mengatakan hendak mengecek kerjasama media dengan Pemkot Bitung.

Saya mengatakan orang sekaliber dia, mestinya punya olahan lain yang lebih menantang lagi, terutamanya mengeksplorasi ruang yang direbak era digital saat ini.

Apakah kalimat itu ia terima sebagai sebuah tantangan atau apa, tetapi jika hendak memberi pilihan, maka saya berharap ketika menerima kabar, maka yang datang adalah konsep garapan yang lebih mutakhir dan factual lagi.

Maaf jika saya telah hampir sampai di ujung kembara dari labirin era mainstream.(*)

Continue Reading

Artikel

Pengacara Korban Pembunuhan yang Melibatkan Anak Boss Prodia Terindikasi sebagai Makelar Kasus

Solichin

Published

on

Oleh: Wilson Lalengke_

Oknum pengacara keluarga korban pembunuhan yang melibatkan anak boss Prodia, Advokat Toni, S.H., terindikasi berperan sebagai makelar kasus yang mengatur penerimaan uang damai dari keluarga tersangka kepada keluarga korban, dengan bukti adanya penyerahan uang Rp300 juta kepada keluarga korban disertai penandatanganan surat perjanjian perdamaian.

Diketahui bahwa surat perjanjian itu dikonsep oleh Toni bersama tim-nya dan ditanda-tangani di depan advokat yang berkantor di Lt. 2 Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat itu. Salah satu klausul dalam perjanjian perdamaian tersebut adalah bahwa kedua belah pihak setuju kasus pembunuhan ini tidak dilanjutkan.

Hal tersebut terungkap dalam sebuah acara televisi swasta Nasional bertajuk Main Suap di Kasus Pembunuhan, Selasa malam, 4 Februari 2025. Dalam tayangan acara yang menghadirkan Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiotomo; Ketua IPW, Sugeng Santoso; dan Ahli Forensik Reza Indragiri, itu ditayangkan video berisi detik-detik penandatanganan perjanjian perdamaian antara keluarga korban dan keluarga tersangka disaksikan pengacara kedua belah pihak.

Walaupun Toni beralasan kasus ini adalah delik biasa, bukan delik aduan, yang artinya negara berkewajiban mengusut kasus tersebut hingga tuntas terlepas dari adanya uang damai, namun dari sikap diamnya usai penyerahan uang damai terhadap kasus ini, hal tersebut dapat dimaknai bahwa dia juga berharap kasusnya tidak dilanjutkan.

Dari momen saat penyerahan uang Rp300 juta kepada keluarga korban pada Mei 2024 hingga pemanggilan polisi di bulan September 2024, terdapat 4 bulan jedah waktu dimana kasus itu terkesan dipetieskan.

Keluarga korban juga terlihat pasrah dan tidak lagi meributkan kasus kematian anaknya, hal mana mengindikasikan bahwa akibat “uang suap” yang diterimanya menjadikan mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Kasus ini akhirnya mencuat ke publik setelah diviralkan tentang dugaan pemerasan miliaran rupiah oleh oknum mantan Kasatreskrim Jakarta Selatan, AKBP Bintoro.

Dugaan pemerasan tersebut berdasarkan pada adanya gugatan perdata di PN jakarta Selatan oleh tersangka pelaku pembunuhan dengan tergugat AKBP Bintoro bersama beberapa pihak lainnya.

Dari sisi pengacara tersangka, advokat Evelin Dohar Hutagalung, sudah terang-benderang bahwa dia adalah makelar kasus yang bekerja keras untuk melepaskan kliennya dari jeratan hukum. Hal tersebut dapat dimaklumi, tapi tidak boleh dibiarkan.

Pengacara model begini harus diproses hukum dan disanksi berat, yakni 2 kali lebih berat dari hukuman bagi masyarakat umum yang melakukan pelanggaran pidana yang sama.

Advokat Toni, S.H. semestinya tidak boleh dibiarkan lepas tangan dari sengkarut hukum transaksional yang melingkupi kasus pembunuhan anak manusia yang terjadi. Toni harus diproses hukum sebagaimana halnya pengacara tersangka, advokat Evelin, atas sangkaan melakukan praktek makelar kasus. Minimal yang bersangkutan harus diproses Kode Etik Advokat oleh organisasi advokat yang menaunginya.

Kepada seluruh masyarakat dihimbau agar mulai memperbaiki dan atau merobah pola pikir berhukum di negara ini, jangan sekali-sekali bermain uang, suap-menyuap, dengan dalih uang perdamaian, khususnya untuk kasus-kasus berat seperti pembunuhan dan korupsi.

Kita sudah apatis terhadap para penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara, bahkan lembaga-lembaga pengawas dan penjaga kehormatan penegak hukum seperti kompolnas, ombudsman, DPR, dan lainnya.

Saat ini, tertinggal harapan pada diri masing-masing untuk memperbaiki kondisi hukum di negeri ini melalui penerapan hukum yang benar tanpa menghadirkan intervensi uang dan kuasa di dalamnya. Semoga. (*)

Continue Reading

Artikel

Pagar Laut

Redaksi

Published

on

By

Oleh: Dahlan Iskan

Bisakah tiga tujuan itu tercapai di sebuah kawasan yang akan dibangun besar-besaran seperti PSN PIK 2?

“Bisa”.

Yang mengatakan “bisa” itu Ahmad Khozinudin SH. Dia orang Jawa-Lampung. Dia sedang menggugat keberadaan Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK2 yang di pantai utara Tangerang. Tepatnya di sebelah utara Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.

Luas tanah dan laut yang dia persoalkan itu 900 hektare. Khozi tidak sendirian. Ada 20 orang aktivis yang bersamanya. Termasuk seorang brigjen dan kolonel purnawirawan.

“Anda mewakili berapa petani dan nelayan?”

“Kami justru tidak atau belum mewakili mereka. Mereka jangan diikutkan dulu,” ujar Khozi.

“Kalau mereka ikut menggugat lalu dikalahkan, mereka akan habis. Kami dulu yang maju. Kalaupun usaha kami ini dikalahkan, petani, dan nelayan tidak rugi apa-apa,” tambahnya.

Khozi mengambil contoh proyek besar Bandara Soekarno-Hatta di sebelahnya. Juga proyek PLTU Teluk Naga di ujung barat PSN PIK2.

“Rakyat di dua kawasan itu senang kok. Investornya juga senang. Negara juga senang,” kata Khozi.

Orang tua Khozi asli Magelang. Miskin sekali. Dari desa di Kecamatan Salaman. Orang tuanya ikut transmigrasi ke Lampung. Ke Way Jepara. Di Lampung Timur.

“Saya dari keluarga NU, pernah aktif di IPNU, sekolah di Muhammadiyah, ikut IMM, lalu jadi aktivis HMI,” katanya. Berarti Khozi aktivis lintas pagar.

“Waktu di Lampung kami ini diejek orang Lampung. Lihat tuh orang Jawa, pergi ke Lampung bawa cangkul. Kami, orang Lampung, pergi ke Jawa bawa buku,” ujar Khozi terkekeh.

Dia pun jadi orang Lampung. Pergi ke Jawa untuk sekolah. Setamat kuliah di Magelang dia ke Jakarta, gabung dengan kantor pengacara lain sebelum akhirnya mandiri.

Awalnya Khozi tidak kenal Said Didu, penggerak rakyat untuk menggugat PSN PIK 2.

Didu adalah aktivis lama. Sejak masih di Makassar. Juga ketika jadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB). Juga ketika gabung di HMI.

Pertautan Khozi dengan Didu terjadi saat Didu dilaporkan ke polisi untuk kali kedua. Para aktivis berkumpul mendukung Didu. Di situlah Khozi kenal mantan sekretaris kementerian BUMN itu.

Gerakan aktivis pun bergeser lebih taktis. Lewat gugatan hukum, tanpa melibatkan petani dan nelayan dulu.

“Semua ini hulunya kan di UU Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Khozi.

Waktu pembangunan bandara Cengkareng (sekitar 1.000 hektare) tidak ada masalah. Ganti ruginya baik dan lancar. Pun ketika dibangun PLTU besar di Teluk Naga.

“Saat itu saja, ganti ruginya sudah Rp 300.000/meter,” ujarnya.

Bukan hanya itu. Khozi juga mengatakan ada ketidakadilan lain di PSN PIK 2.

“Pemilik tanah yang punya kuasa ganti ruginya normal. Kenapa yang rakyat hanya Rp 100.000, Rp 50.000, dan bahkan ada yang tidak dapat ganti rugi,” katanya.

Yang dimaksud pemilik tanah yang punya kuasa adalah bupati, camat, kepala desa, dan sejenisnya. Total ada 30 kepala desa yang terkait dengan PSN ini. Luas sekali.

Begitu panjang adu lidah di proyek ini. Kilah terakhir yang muncul di PSN PIK2 adalah: laut di sana itu dulunya daratan. Lalu kena abrasi. Berubah jadi laut. Maka kalau “laut” bersertifikat itu pada dasarnya dulunya daratan.

Kilah itu muncul setelah sebelumnya seperti ada yang kehilangan akal. Misalnya soal pagar laut sepanjang 30 km itu. Awalnya disebut tidak ada.

Setelah terbukti ada disebutlah tidak ada yang membangunnya. Lalu ada alasan baru: nelayanlah yang membangun. Alasannya untuk mengurangi gelombang.

Ketika diragukan apakah nelayan punya kemampuan dana segitu besar muncul kilah baru: pagar itu untuk menahan tanah saat air laut lagi surut. Lama-lama akan jadi daratan. Istilahnya: reklamasi alamiah.

Kilah itu tidak mempan meredam gejolak. Terakhir ada alasan terbaru: laut itu dulunya daratan.

Memang ada yang seperti itu. Saya pernah menuliskannya di Disway. Terjadinya di antara Semarang-Demak.

Kawasan itu kini berupa laut. Semua rumah hilang. Tinggal satu kuburan yang masih terlihat -itu pun saat air laut lagi surut.

Penduduk yang sudah pindah masih sering ke makam itu: pakai perahu.

Kini di kawasan itu dilewati jalan tol. Masih dikerjakan. Belum jadi. Pengerjaannya lebih lama. Lebih mahal. Jalan tol itu akan berfungsi sekaligus sebagai tanggul laut.

Begitu jalan tol jadi, kawasan laut itu akan kembali jadi daratan. Air lautnya dipompa ke arah utara tol.

Muncullah persoalan: setelah laut dikeringkan nanti tanah lama hidup lagi. Rakyat masih punya sertifikatnya. Sertifikat lama. Itu karena kejadian “daratan jadi laut” belum terlalu lama.

Tahun 1960-an masih daratan. Masih banyak yang mengalami itu dan sekarang masih hidup. Masih pegang sertifikat.

Akhirnya Presiden Jokowi ambil terobosan: mereka dapat ganti rugi separo harga. Selesai. Rakyat senang. Proyek berjalan. Negara pun akan bisa membangun kawasan baru yang akan menjadi kebanggaan Jawa Tengah dan nasional.

Rasanya kawasan Demak ini lebih besar daripada PSN yang ada di PIK2. Tanpa terjadi kehebohan.

Saya tidak tahu kapan daratan di Tangerang utara itu berubah jadi laut. Apakah sertifikat yang ada di laut itu terbit ketika masih berupa daratan.

“Mungkin memang ada daratan yang jadi laut. Tidak banyak. Lalu dimanfaatkan sekalian untuk laut yang awalnya pun bukan daratan,” ujar Khozi.

Di Demak, Presiden Jokowi turun tangan. Keruwetan yang berlarut langsung selesai lewat satu Keputusan Presiden.

Siapa tahu PSN PIK 2 di utara Bandara Soekarno-Hatta itu juga selesai dengan satu Keputusan Presiden Prabowo. Kan Prabowo terlihat lebih tegas dan lebih membela rakyat.

Siapa tahu.(*)

Continue Reading

Trending

× Kontak Redaksi