Connect with us

Manado

Bank SulutGo atau Bank Sulut?

Redaksi

Published

pada

By

Profil Hamim Pou ok

Oleh: Hamim Pou

(Penulis adalah mantan Bupati Bone Bolango, pengamat kebijakan & inovasi daerah)

Bank SulutGo lahir sebagai simbol kebersamaan. Nama itu bukan sekadar label, melainkan cermin filosofi persaudaraan: Sulawesi Utara dan Gorontalo berbagi rumah keuangan yang sama. Dari dividen hingga CSR, dari layanan kas daerah hingga kredit ASN, bank ini membuktikan diri sebagai instrumen pembangunan bersama.

Tahun demi tahun, ada konsensus yang dihormati: keterwakilan Gorontalo selalu ada di jajaran komisaris maupun direksi. Bukan karena besaran sahamnya signifikan, melainkan karena semangat ‘basudara’ yang menjiwai. Konsensus itu ibarat pagar moral, tanda bahwa Bank SulutGo bukan hanya Bank Sulut, melainkan rumah bersama.

Sebagai kepala daerah yang pernah memimpin Bone Bolango selama lebih dari satu dekade, saya menyaksikan langsung betapa pentingnya kehadiran bank ini bagi daerah. Setiap tahun pemerintah daerah menerima dividen yang langsung memperkuat APBD.

CSR yang diberikan sesuai porsi saham juga saya saksikan sendiri dirasakan manfaatnya, baik untuk pendidikan, kesehatan, maupun pembangunan sosial di masyarakat. Bagi kami di Gorontalo, Bank SulutGo bukan sekadar institusi keuangan, tetapi mitra pembangunan yang nyata. Oleh sebab itu, ikatan emosional dan politik ekonomi dengan bank ini sangat dalam.

Tetapi RUPS 2025 menciptakan riak besar. Untuk pertama kali, konsensus itu dilanggar. Tidak ada satu pun perwakilan Gorontalo yang diakomodasi di jajaran pimpinan. Rasa kecewa pun merebak. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Gorontalo merasa dikhianati, karena hak moral dan simbolis mereka diabaikan.

Dampaknya bukan sebatas perasaan, melainkan aksi nyata: beberapa daerah memindahkan rekening kas umum daerah ke bank lain. Ini bukan hanya protes, tetapi langkah yang langsung memukul likuiditas bank. Kas daerah adalah sumber dana pihak ketiga yang murah, yang menopang ekspansi kredit dan menjaga stabilitas bank. Jika arus dana itu mengalir ke bank lain, BSG harus siap kehilangan nafas panjangnya.

Risikonya berlapis. Pertama, hilangnya likuiditas. Bayangkan jika tiap pemda Gorontalo menarik ratusan miliar rupiah; totalnya bisa mencapai triliunan. Itu bukan angka kecil bagi bank pembangunan daerah.

Kedua, reputasi. OJK dan publik akan bertanya: bagaimana tata kelola bank daerah bisa mengabaikan konsensus yang sudah berjalan puluhan tahun?

Ketiga, pelayanan publik. ASN dan masyarakat Gorontalo yang selama ini terkait dengan BSG akan terganggu. Dari pembayaran gaji hingga transaksi belanja daerah, semua bisa tersendat. Dan bila trust publik terganggu, membalikkannya bukan pekerjaan mudah.

Saya tahu persis bagaimana konsensus keterwakilan itu dijaga. Dalam rapat-rapat sebelumnya, suara Gorontalo selalu dihormati meski porsi sahamnya tidak sebesar Sulut. Itulah sebabnya ketika konsensus itu dilanggar di RUPS kali ini, kekecewaan terasa begitu dalam.

Bukan hanya bagi pejabat, tetapi juga masyarakat yang melihat simbol kebersamaan itu diruntuhkan begitu saja.

Namun krisis juga selalu membuka ruang solusi. Ada jalan tengah yang bisa ditempuh. Pertama, mengembalikan konsensus. Representasi Gorontalo harus diakui, minimal satu kursi komisaris atau direksi. Kalau perlu, dituangkan secara eksplisit dalam Anggaran Dasar atau perjanjian pemegang saham, agar tak lagi bergantung pada goodwill mayoritas.

Kedua, menciptakan mekanisme rotasi jabatan antar provinsi. Dengan begitu, semua merasa dihargai tanpa harus terjebak dalam tarik-menarik abadi.

Ketiga, menjamin bahwa layanan publik tidak terganggu. Manajemen BSG harus menjamin selama konflik berlangsung, ASN dan masyarakat tetap mendapatkan pelayanan optimal. Jangan sampai publik merasa dikorbankan.

Tetapi ada catatan yang lebih dalam: Bank SulutGo selama ini terlalu nyaman menggantungkan diri pada dua hal: dana segar pemda dan pinjaman kepada ASN.

Ini sumber dana yang mudah, tetapi membuat manajemen terlena. Bunganya pun sering dikeluhkan ASN, karena relatif lebih tinggi dibanding bank lain. Padahal loyalitas nasabah tidak boleh diambil sebagai hal biasa.

Di luar sana, bank-bank lain berkeringat mencari nasabah, masuk lebih dalam ke UMKM, mengembangkan layanan digital, dan menekan bunga agar kompetitif. BSG tidak bisa terus mengandalkan captive market. Kalau tidak bertransformasi, pelan-pelan bank ini akan ditinggalkan.

Karena itu, krisis RUPS ini harus dijadikan momentum ganda: restorasi konsensus dan reformasi model bisnis. Restorasi konsensus artinya kembali menghormati semangat kebersamaan, meneguhkan bahwa Gorontalo bukan sekadar tempelan.

Reformasi model bisnis artinya BSG harus lebih agresif masuk ke kredit produktif, memperluas inklusi keuangan, dan berinovasi digital. Bank ini harus belajar berkeringat, bersaing sehat dengan bank-bank lain, dan menunjukkan bahwa ia bisa tumbuh tanpa bergantung total pada kas daerah.

Bagaimana jika jalan tengah tidak ditemukan? Risiko jangka panjangnya jelas. BSG bisa terjebak dalam dominasi Sulut, kehilangan dukungan Gorontalo, dan pangsa pasar diisi bank-bank nasional maupun syariah.

Bahkan saham Gorontalo bisa perlahan terpinggirkan dan diambil alih investor besar. Kalau itu terjadi, nama ‘SulutGo’ akan kehilangan arti. Ia hanya akan kembali menjadi Bank Sulut. Padahal makna ‘Go’ adalah simbol harga diri dan persaudaraan.

Bagi Gorontalo, konflik ini bisa menjadi hikmah. Jika konsensus tidak kembali, opsi membentuk bank sendiri terbuka. Entah bank pembangunan daerah baru atau bank syariah milik rakyat dan pemerintah Gorontalo.

Ini bukan perkara mudah—modal besar, regulasi ketat, infrastruktur mahal—tetapi bukan mustahil bila ada tekad kolektif. Bahkan, bisa jadi momentum melahirkan bank syariah daerah yang berakar pada UMKM, pangan, dan ekonomi rakyat. Setidaknya, wacana ini akan membuat BSG sadar bahwa kehadiran Gorontalo tidak bisa diremehkan.

Pada akhirnya, masa depan Bank SulutGo ditentukan oleh keberanian memperbaiki tata kelola. Apakah ia tetap menjadi rumah basudara atau sekadar alat ekonomi satu pihak? Apakah ia bisa keluar dari zona nyaman dan berlari bersama bank lain? RUPS kali ini adalah alarm keras.

Bila didengar, Bank SulutGo bisa lahir kembali sebagai bank daerah modern yang sehat, inklusif, dan dipercaya. Bila diabaikan, ia akan kehilangan kepercayaan, dan perlahan hanya menjadi nama tanpa jiwa.

Gorontalo dan Sulut punya pilihan: melanjutkan kebersamaan atau merelakan persaudaraan ini retak. Dan sejarah akan mencatat, pilihan itulah yang menentukan apakah Bank SulutGo tetap menjadi bank ‘basudara’, atau tinggal bank ‘Sulut’ semata. (*)

Sumber: https://gorontalopost.co.id/

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Sosial Media

/** * Use the following code in your theme template files to display breadcrumbs: */