Berita
Louis Schramm Minta Perhitungan Lebih RealistisTerhadap Rencana Anggaran Kebudayaan Sulut Membengkak
Manado. Mediakontras.com – Pemaparan Kepala Dinas Kebudayaan Sulawesi Utara (Sulut), Jani Nicolas Lukas, di Ruang Paripurna DPRD Sulut pada Jumat (1/8/2025), menjadi pusat perhatian saat pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029.
Dalam forum bersama Panitia Khusus (Pansus) DPRD itu, Lukas menjelaskan program strategis dan proyeksi anggaran besar untuk lima tahun ke depan yang disebut mendukung visi-misi Gubernur dan Wakil Gubernur.

Lukas menegaskan Dinas Kebudayaan memegang peran penting dalam menunjang misi keenam pembangunan daerah, yakni memperbaiki tata kehidupan masyarakat yang tertib, aman, dan nyaman melalui pelestarian nilai budaya berbasis kearifan lokal.
Ia memaparkan enam program utama, termasuk pengembangan kebudayaan, pelestarian kesenian tradisional, pengelolaan cagar budaya, pengelolaan museum, peningkatan sejarah lokal, serta penunjang administrasi kebudayaan.
“Fokus kami pada dua indikator utama: meningkatnya Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) dan bertambahnya jumlah warisan budaya baik benda maupun tak benda,” jelas Lukas.
Ia juga mengungkap strategi, mulai dari perlindungan cagar budaya, pemanfaatan teknologi digital, hingga pengembangan kapasitas SDM kebudayaan.
Namun, yang memantik diskusi tajam adalah rincian anggaran Dinas Kebudayaan memproyeksikan lonjakan dana signifikan: Rp8,7 miliar (2026), Rp18,07 miliar (2027), Rp19,42 miliar (2028), Rp20,9 miliar (2029), dan Rp22,7 miliar (2030). Lonjakan tajam, terutama antara 2026 dan 2027, mencapai lebih dari 100 persen.
Ketua Pansus RPJMD 2025–2029, Louis Carl Schramm, langsung menyoroti hal ini.
“Kenaikan dari Rp8 miliar ke Rp18 miliar bukan angka kecil. Kita ingin tahu, apa yang membuat kebutuhan ini begitu mendesak?” ujar Schramm.
Lukas menjawab bahwa tambahan anggaran selaras dengan peningkatan target indikator kinerja, seperti partisipasi masyarakat dalam pengembangan budaya yang ditargetkan naik drastis dari skor 1,82 (2026) menjadi 5 (2027), jumlah sejarah lokal yang dilestarikan meningkat dari 1 menjadi 5, serta peningkatan presentasi kesenian tradisional dari 19,25 menjadi 29,4.
Ia menambahkan, Perda Kemajuan Kebudayaan yang berlaku sejak 2024 juga mengamanatkan alokasi anggaran memadai untuk sektor ini.
Namun argumen itu belum memuaskan. Schramm kembali menegaskan agar anggaran tidak sekadar meningkat tanpa dasar yang jelas.
“Kalau pembangunan fisik seperti renovasi museum sudah dilakukan di 2027, kenapa anggaran tetap tinggi hingga 2030? Harus ada koreksi,” katanya.
Diskusi ini memperlihatkan tarik menarik antara idealisme menjaga dan mengangkat kebudayaan Sulut dengan realitas fiskal daerah yang terbatas. Visi besar menjadikan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan patut diapresiasi.
Namun, DPRD mengingatkan pentingnya transparansi, perencanaan matang, dan justifikasi yang kuat agar lonjakan anggaran tidak menjadi beban keuangan yang justru merugikan pembangunan sektor lain.(*)