Artikel
Religi, Etika, dan Matematika: Menyulam Arah Pendidikan yang Bermakna

Dalam hiruk-pikuk dunia pendidikan hari ini, kita sering kali terlalu sibuk mengejar angka, nilai rapor, akreditasi, dan capaian kognitif sehingga lupa bahwa pendidikan sejatinya punya misi yang jauh lebih dalam. Pendidikan bukan sekadar soal pintar, tapi soal menjadi manusia. Dan untuk itu, kita butuh fondasi yang kuat yaitu religi dan etika.
Landasan religi dalam pendidikan sebenarnya bukan sekadar tambahan nilai spiritual di sela-sela pelajaran, melainkan pondasi utama. Dalam kekristenan pun demikian. Amsal 1:7 dengan tegas menyatakan bahwa “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan.” Artinya, segala proses belajar semestinya diawali dengan sikap hormat dan tunduk pada nilai-nilai Ilahi. Dari sana baru lahir pengetahuan yang bukan hanya cerdas, tapi juga bijaksana.
Lalu, bagaimana dengan isi pendidikan? Harusnya tidak cukup hanya padat teori dan rumus, tapi juga penuh nilai. Aspek keagamaan dan moral tidak boleh jadi pelengkap, melainkan bagian inti dari kurikulum. Ilmu pengetahuan pun harus ditempatkan dalam rel yang sejalan dengan ajaran agama (tidak bebas nilai) tapi juga tidak mengekang akal.
Etika, di sisi lain menjadi jembatan penting antara nilai dan praktik. Pendidikan yang berlandaskan etika bertujuan membentuk pribadi yang berintegritas, bertanggung jawab, dan peduli terhadap sesama. Etika memastikan bahwa ilmu yang diajarkan bukan hanya “bisa”, tapi juga “layak”.
Siswa bukan cuma diajarkan bagaimana caranya menghitung cepat, tapi juga mengapa kejujuran dan ketelitian penting dalam setiap proses berpikir.
Nah, sekarang kita bicara matematika. Ilmu yang sering dikira steril dari nilai-nilai ini ternyata punya hubungan erat dengan religi dan etika. Matematika berkembang pesat karena didorong oleh semangat memahami ciptaan Tuhan.
Seperti Al-Khwarizmi yang menciptakan aljabar bukan karena tugas sekolah, tapi sebagai bentuk kontemplasi terhadap keteraturan semesta.
Matematika juga punya peran dalam banyak praktik keagamaan, dalam konteks Kristen dan tradisi lainnya, matematika dipahami sebagai bagian dari harmoni ciptaan Tuhan. Ia bukan hanya alat berhitung, tapi bahasa Tuhan dalam menyusun semesta.
Jadi kalau kita mau jujur, pendidikan matematika pun bisa dan seharusnya menjadi ruang untuk menanamkan nilai: kejujuran dalam menjawab soal, ketekunan dalam berpikir logis, kesabaran dalam menyelesaikan masalah, dan rasa kagum terhadap keteraturan alam semesta.
Pendidikan yang ideal bukan hanya tentang otak yang terisi, tapi hati yang terarah. Saat religi dan etika menjadi dasar, dan matematika pun dirangkul sebagai bagian dari proses pembentukan karakter, di situlah pendidikan menemukan jati dirinya yang utuh: mencerdaskan kehidupan bangsa, sekaligus memuliakan kemanusiaan.
Inggrid Sitanala
Penulis adalah seorang mahasiswa S2 program study Pendidikan Matematika by research
GASING
Universitas Pendidikan Indonesia
