Artikel
Tragedi Kemang dan Petisi Satu Pena

Oleh: Dr. TM Luthfi Yazid, SH, LLM
Tragedi penghancuran demokrasi kembali muncul di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, hanya jelang 20 hari berakhirnya rejim Jokowi.
Betapa tidak! Puluhan pria bermasker mengobrak-abrik serta memaksa pembubaran acara diskusi “Silaturahmi Kebangsaan Diaspora dari lima benua bersama Tokoh dan Aktivis Nasional”.
Acara diskusi yang digelar oleh insan diaspora yang tergabung dalam Forum Tanah Air (FTA) di Kemang, Jakarta Selatatan, Sabtu (28/09) itu pun kacau. Lalu bubar! Yang membubarkan adalah orang-orang bermasker dengan gaya preman jalanan.
Hadir dalam forum diskusi tadi, antara lain, Prof. Dr. Din Syamsudin (Mantan ketua PP Muhammadiyah), Dr.. Said Didu (Mantan Sekjen Kementerian BUMN), Mayjen Sunarko (Mantan Danjen Kopassus), pakar hukum tata negara Refly Harun, dan lain-lain.
Dari kalangan Diaspora (orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri) yang tergabung dalam FTA, hadir Ketua dan Sekjennya, Tata Kesantra dan Ida N. Kusdianti.
Acara ini awalnya dirancang sebagai dialog antara diaspora Indonesia di luar negeri dengan sejumlah tokoh dan aktivis nasional terkait isu kebangsaan dan kenegaraan. Tapi di tengah jalan acara tersebut berantakan karena dibubarkan sekelompok orang tak dikenal (OTK).
Sejumlah pejabat dan tokoh mengecam aksi premanisme dan menyayangkan kepolisian gagal mencegahnya. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meminta Kepolisian untuk mengusut tuntas kasus pembubaran diskusi Forum Tanah Air (FTA) oleh sekelompok orang dengan gaya premanisme.
“Aparat Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin, 30 September 2024. Poengky mengatakan, aksi kekerasan yang ditunjukkan kelompok pengganggu diskusi itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berkumpul, berekspresi dan mengemukakan pendapat.
“Sangat mengejutkan setelah 26 tahun reformasi ternyata masih dijumpai kelompok seperti ini di Indonesia,” katanya.
Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Dhahana Putra, mengecam tindakan pembubaran paksa diskusi tersebut. Dia menilai bahwa peristiwa pembubaran yang terjadi pada Sabtu itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan HAM yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan UU”.
“Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kebebasan berpendapat merupakan hal penting di dalam sebuah negara demokrasi, termasuk Indonesia,” kata Dhahana di Jakarta, Minggu.
Dia mengatakan pemerintah telah menjamin kebebasan berpendapat dengan mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai payung hukumnya. Dhahana juga menegaskan bahwa tindakan pembubaran tersebut telah melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 24 ayat 1 yaitu Pembubaran diskusi umum secara paksa merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai.
Akibat akisi premanisme puluhan orang tak dikenal (OTK) itu, acara silaturahmi dan diskusi berantakan. Hampir semua fasilitas acara silaturahmi seperti sound system, backdrop, dan alat video-fotografi dihancurkan. Alasannya, diskusi tersebut mengganggu keamanan dan persatuan nasional. Sebuah alasan yang mengada-ada dan irasional.
Saat itu, petugas kepolisian yang berada di sekitar TKP (tempat kejadian perkara) seperti tak berdaya menghadapi aksi premanisme OTK tersebut.
Banyak pihak menuduh, polisi sengaja membiarkan aksi premanisme itu. Tak sedikit pihak menuduh aksi premanisme itu by design. Siapa yang mendesainnya?
Patut diduga kuat design tersebut adalah dari rejim yang ada sekarang. Polisi adalah institusi keamanan dalam naungan eksekutif. Tuduhan di atas bukan omong kosong. Sebelumnya sudah terjadi puluhan kasus serupa tragedi Hotel Kemang dalam varian berbeda.
Siapa yang menyiram air keras ke muka penyidik KPK Novel Baswedan (karena sikapnya yang antirejim), hingga kini masih misteri.Siapa yang mengobrak-abrik standar operasi pelaksananaan (SOP) Pemilu dan Pilpres 2024 hingga sarana demokrasi itu runtuh?
Publik sudah tahu, hanya saja pura-pura tidak tahu. Mengaku tidak tahu jauh lebih aman dari mengaku tahu.
Polda Metro Jaya telah menangkap lima orang dalam tragedi Kemang. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Kita berharap, polisi bisa menangkap master mind-nya.
Jika tidak, publik akan menganggap polisi sedang bermain Drakor (Drama Korea). Ya, jangankan pembubaran kasus Hotel Kemang yang liliput, perusakan prinsip Demokrasi dalam Pemilu dan Pilpres pun, dapat dilakukan dengan mulus! Ini semuanya, penghancuran demokrasi. Semua itu by design. Ada perencanaan sistematis di sana.
Sekarang hasilnya sudah tampak. Hampir semua institusi penegak hukum dan keadilan telah membusuk. Rejim telah “meracuni” hampir semua institusi penegakan hukum dan demokrasi dalam empat tahun terakhir. Kasus premanisme di Hotel Kemang hanya secuil busa di atas puncak gunung es yang terlihat dengan kasat mata.
Di balik itu, kerusakan institusi hukum sudah mengerikan. Patut diduga penguasa saat ini telah berubah menjadi monster raksasa yang bisa mengkremus siapa pun yang berani melawan rencananya, membentuk politik dinasti dan oligarki. Kasus premanisme di hotel Kemang hanya bagian dari target kecil yang diburu rejim untuk dilenyapkan.
Perusakan demokrasi tersebut berbuntut pada berbagai kerusakan hukum, ekonomi, sosial dan sebagainya. Negara ini sedang mengalami berbagai krisis akibat rezim yang berkuasa, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, tidak menjalankan tugasnya sepenuh hati sesuai tujuan berbangsa dan bernegara.
Organisasi hak asasi manusia ELSAM menilai rentetan kasus pembubaran diskusi atau protes akhir-akhir ini memiliki pola yang sama: diinisiasi oleh kelompok pro-kekerasan dan berakhir dengan penggunaan kekerasan terhadap kelompok yang manjadi sasaran aksi. Perluasan praktik semacam ini, menurut Elsam, menunjukkan semakin besarnya risiko ancaman terhadap warga dan kegagalan negara untuk memenuhi dan melindungi hak asasi rakyatnya.
Tragedi Kemang dan ratusan tragedi serupa yang muncul di seluruh Indonesia belakangan ini menunjukkan apa yang diprihatinkan para penulis dalam Petisi Satu Pena, yang ditandatangani 1001 tokoh ternyata benar adanya.
Para penulis anggota Persatuan Penulis Indonesia (Satupena), yang memiliki kepedulian terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara Republik Indonesia, menyatakan dan menuntut hal-hal sebagai berikut:
1. Pemerintah, DPR, MA, MK, KPU dan pihak-pihak terkait melaksanakan sebaik-baiknya Putusan MK Nomor 60 dan 70.
2. Meminta Pemerintah dan lembaga/kementerian terkait, juga jajaran legislatif dan yudikatif untuk menjunjung tinggi, menghayati, mengamalkan dan menjamin dilaksanakannya prinsip-prinsip demokrasi dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Menghilangkan segala bentuk kebijakan dan tindakan yang menguntungkan kepentingan pribadi/pihak/golongan tertentu dan berdampak buruk bagi rakyat, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
4. Menolak dengan tegas laku politik oligarki otoriter untuk melayani kekuasaan politik dan ekonomi golongan dan kelompok tertentu, yang mematikan proses demokrasi untuk mencapai tujuan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Keprihatinan dalam Petisi Satupena, merupakan keprihatinan kita semua. Kita berharap pemerintahan baru yang mulai bekerja setelah 20 Oktober 2024, dapat memperbaiki kerusakan demokrasi dan hukum seperti tersebut di atas.
Semoga Tuhan memberkati bangsa Indonesia dan membimbing kita menuju jalan yang benar. (*)
Penulis: Ketua Umum DePA-RI/Dewan Pergerakan Advokat Republik Indonesia dan Member Satu Pena
Artikel
Erick Thohir Harus Mundur: Pertanggungjawaban atas Mega Korupsi di PT Pertamina

Oleh: Ali Syarief_
Ketika berbicara tentang tanggung jawab seorang menteri, khususnya dalam mengelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), integritas dan akuntabilitas adalah dua hal yang mutlak. Erick Thohir, sebagai Menteri BUMN, semestinya memahami bahwa mega korupsi yang terjadi di PT. Pertamina bukan hanya sekadar skandal keuangan, tetapi juga mencerminkan kegagalan sistemik dalam kepemimpinannya.
Ironisnya, alih-alih menunjukkan rasa tanggung jawab yang mendalam, Erick Thohir justru masih bisa tampil dengan wajah sumringah di depan publik, seolah tidak ada hal besar yang harus dipertanggungjawabkan.
Kasus korupsi di PT. Pertamina yang merugikan negara hingga triliunan rupiah seharusnya menjadi tamparan keras bagi Pemerintah. Ini bukan sekadar kesalahan individu atau oknum tertentu, tetapi bukti nyata dari kelemahan pengawasan dan tata kelola yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh seorang Menteri BUMN.
Dalam sistem pemerintahan yang sehat, setiap menteri yang gagal menjalankan tugasnya dengan baik harus siap mengundurkan diri sebagai bentuk tanggung jawab moral. Namun, yang kita saksikan adalah sikap sebaliknya: pembelaan diri tanpa refleksi dan tanpa konsekuensi nyata.
Sikap Erick Thohir yang terkesan santai di tengah besarnya skandal ini justru memperburuk citra pemerintahan Jokowi di masa lalu, yang dilanjutkan Presiden Prabowo saat ini.
Masyarakat berhak mempertanyakan, apakah pemimpin seperti ini yang layak dipercaya mengelola aset-aset negara? Jika seorang pejabat publik tidak merasa malu atau terbebani dengan keterlibatan kementeriannya dalam kasus korupsi besar, maka ini adalah sinyal buruk bagi masa depan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan.
Keengganan untuk mundur menunjukkan bahwa pejabat di Indonesia masih jauh dari budaya pertanggungjawaban politik yang seharusnya.
Di negara-negara dengan sistem demokrasi yang matang, seorang pejabat yang institusinya tersandung skandal besar akan segera mengundurkan diri sebagai bentuk penghormatan terhadap jabatan yang diembannya.
Namun di Indonesia, jabatan justru dipertahankan mati-matian meskipun kepercayaan publik sudah jatuh ke titik terendah.
Mega korupsi di PT. Pertamina seharusnya menjadi momentum untuk perbaikan, bukan justru ditutupi dengan berbagai narasi pembelaan yang menyesatkan.
Jika Erick Thohir benar-benar memiliki integritas, seharusnya ia tidak menunggu desakan publik untuk mundur, melainkan secara sukarela mengambil langkah itu sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.
Lebih jauh, bukan hanya pengunduran dirinya yang dituntut, tetapi juga langkah hukum yang tegas untuk menyeret semua pihak yang terlibat dalam skandal ini.
Negara ini membutuhkan pemimpin yang berani menghadapi konsekuensi dari kegagalan mereka, bukan yang sekadar lihai berkomunikasi dan mencari perlindungan politik.
Jika budaya impunitas seperti ini terus dibiarkan, maka jangan heran jika kasus-kasus korupsi semakin menggurita dan kepercayaan publik terhadap pemerintah semakin runtuh.
Erick Thohir, sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kebijakan di BUMN, tidak boleh hanya diam dan terus menjalankan tugasnya seolah tidak ada yang terjadi.
Sudah saatnya bagi dia untuk mundur dan mempertanggungjawabkan kegagalannya dalam mengelola perusahaan-perusahaan negara dengan baik. (*)
Artikel
Bitung Pada Satu Titik: DARI MMHH KE HHRM

By : Kex
Tidak ada satu rezim yang bersifat permanen, pun di tata kelola pemerintahan. Setiap periode selalu akan ditandai munculnya sosok pemimpin baru apakah dari satu warna politik yang sama ataupun berbeda.
Entah apakah pula proses pergantian itu berlangsung mulus atau pun berjalan penuh diksi dan kontraksi, tetap juga semua akan bermuara pada satu titik : suksesi kepemimpinan.
Begitupun yang terjadi saat genta pelantikan serentak ditabuh, mereka yang dilantik segera kembali ke daerah masing masing dan memulai agenda membumikan visi misi dan program prioritas sebagaimana yang didengungkan selama kampanye.
Itu pula yang sementara berproses di kota Bitung, pasca era Maurits Mantiri selesai, lokomotiv kepemerintahan ada dalam tuas gerak Hengky Honandar dan Randito Maringka.
Seperti apapun konstalasi yang ada, sudah menjadi sebuah kemestian agar semua komponen memberi ruang seluas mungkin bagi HHRM untuk membangun kota ini.
Energi dan spirit objektif serta konstruktif harus lebih dominan mendapatkan ruang menindih sikap kenes, infantil dan aroma rivalitas yang masih merebak secara sporadis.

Saatnya move on memberi ruang dan suport bagi kepemimpinan baru membangun kota ini menjadi lebih baik. Bahwa lepas dari kekurangan dan kelemahan MM tetap telah mematri karya selama kepemimpinannya, saat ini tongkat kepemimpinan dipercayakan kepada sosok HH yang memiliki kematangan emosional dan spirituil, disokong energi muda RM, kolaborasi mereka akan efektif jika disuport secara proporsional oleh semua lini dengan tetap memberi ruang bagi mekanisme kontrol publik secara kritis etis.
Akhirnya banyak selamat HHRM selamat menapaktilasi esensi kepemimpinan sebagaimana frasa George R. Terry, “Kepemimpinan adalah kegiatan memengaruhi orang lain agar mau berjuang demi tujuan bersama”.
Terimakasih buat BPK Maurits Mantiri atas kiprah satu periode dan selamat melayani untuk Walikota Hengky Honandar dan Wakil Randito Maringka. Selamat membangun kota Bitung yang makin baik.(*)
Artikel
Meresapi Lelehan Senjakala(Refleksi Dua Puluh Lima Tahun Kembara Media)

Oleh : Emon Kex Mudami
The World is Flat….., (Thomas Friedman)
Apakah catatan sederhana ini terlecut oleh momentum Hari Pers 9 Februari baru lewat, entahlah. Yang pasti saya lebih nyaman menyebut sebagai proses berkontemplasi, berefleksi atas dunia (ke)media(an) atau jurnalis yang sudah —atau boleh juga baru- digeluti 25 tahun terakhir.
Ketika era makin terdigitalisasi, bidang media informasi komunikasi (mainstream, terutamanya surat kabar), termasuk salah satu yang mengalami efek melting (pencairan) dari konsep kerja sebagaimana biasa.
Fase senjakala media cetak ini perlahan namun pasti, terus merambah dari belahan barat sampai ke ceruk Asia.
Linier dengan gerak pelelehan itu, para pewarta melakukan apa yang saya sebut sebagai proses beradaptasi terhadap seleksi alam yang sementara berlangsung.
Sedikitnya ada tiga corak survive yang terlihat, pertama yang murni bertahan sambil melakukan berbagai inovasi (?) terhadap pasar yang sebetulnya sudah nyaris jenuh, kedua yang secara bertahap bersulih pola dari mainstream ke online atau alternative, dan ketiga mungkin ini lebih pas pada tataran personal adalah yang memilih total berkiprah di luar media.
Tentu pemetaan rada prematur di atas lebih bersifat amatan empiris belaka dan masih sangat terbuka ruang divisualkan lebih smooth lagi.
Saya selalu mengambil posisi memaklumi pilihan yang diambil oleh masing masing pekerja di bidang ini terutama kaum pewarta, sah saja kita memiliki pretensi dan sikap beragam terhadap proses yang ada.
Olehnya saya tidak bisa mendebat misalnya, jika —ijin- senior Joppie Worek telah hampir sepuluh tahun silam mengakui mulai tidak lagi membaca suratkabar karena langsung nyetel dengan android di mana media mainstream maupun alternative berselieweran tanpa batas.
Belakangan sosok yang total hampir 34 tahun aktif sebagai jurnalis itu menyebut memilih jadi WMS alias Wartawan Media Sosial, sekadar menyalurkan kesukaan menulis.
Namun di situasi yang lain, memaklumi mereka yang tetap bertahan melakoni rutinitas profesi, seolah putaran kaki sang waktu belum digerus oleh globalisasi dan high tech.
Adanya pernyataan masih terus belajar sebagai jurnalis misalnya, bisa dipetakkan sebagai sebuah bentuk totalitas walau tetap saja paradoks diperhadapkan dengan gerak jaman kekinian .
Saya meminta maaf, lebih dari sekali mendebat cukup sengit, teman teman yang masih eksis perihal kekauan mereka dalam mengeksekusi era keterbukaan media saat ini.
Saya berpikir ketika nyaris semua pintu multi media terkuak dan bisa diakases dengan mudah oleh netizen, sejogjanya pelaku media juga berlaku lebih terbuka dengan memberi akses seluas-luasnya ruang atau space media terhadap publik.
Bahwa dengan pertimbangan, seperti kata Friedman saat ini dunia telah menjadi datar bahkan tanpa batas (borderless), di mana koneksi publik dengan media tidak sesulit dulu, seseorang yang tidak memiliki bekal ilmu wartawan sekalipun, secara spontan bisa menampilkan news dengan unsur 5W + 1H meski serampangan melalui akun, grup atau berbagai instrumentasi lainnya.
Frame ini yang sepertinya luput dipertimbangkan, dengan kata lain jika dulu saluran publik masih sangat terbatas hanya pada kanal atau ruang media mainstream, namun saat ini ruang itu telah jauh meleleh.
Publik dapat berinteraksi secara massif baik melalui media online ataupun media alternative.
Inilah cuilan potret media kekinian, dimaui atau tidak khusus main stream akan tiba pada tingkap paling nadir, senja yang paling senja.
Mengutip terminilogi Kementerian Kominfo, dalam konteks pemasaran media mainstream tengah menghadapi vonis mati. Orang-orang media perlu bersegera menata diri, beradaptasi dengan era konvergensi .
Dalam motivasi ber-konvergen itu, mohon maaf jika kemarin saya sempat mencandai seorang sahabat melalui percakapan via wa, ia mengatakan hendak mengecek kerjasama media dengan Pemkot Bitung.
Saya mengatakan orang sekaliber dia, mestinya punya olahan lain yang lebih menantang lagi, terutamanya mengeksplorasi ruang yang direbak era digital saat ini.
Apakah kalimat itu ia terima sebagai sebuah tantangan atau apa, tetapi jika hendak memberi pilihan, maka saya berharap ketika menerima kabar, maka yang datang adalah konsep garapan yang lebih mutakhir dan factual lagi.
Maaf jika saya telah hampir sampai di ujung kembara dari labirin era mainstream.(*)
-
Headline3 minggu ago
Bayar THR ASN dan PPPK, Pemerintahan CSSR lucur Rp13,3 Miliar
-
Manado3 minggu ago
Sofian ‘Papar’ Daipaha, Undang Jurnalis di Open House
-
Talaud3 minggu ago
Matangkan Persiapan PSU, KPU Talaud Lantik 62 KPPS Kecamatan Essang
-
Headline2 minggu ago
Turun Langsung Tinjau Lokasi Terdampak Banjir dan Longsor,Wawali Sendy Rumajar Sambangi Lokasi Pengungsian
-
Ekonomi3 minggu ago
Bukber Dengan Pers, Lembong Optimis Astra Daihatsu ‘Raja’ Otomotif di Sulut
-
Headline2 minggu ago
Walikota Instruksikan Semua Perangkat Daerah Siap Siaga Hadapi Cuaca Ekstrem
-
Headline4 minggu ago
Pemkot dan PT PLN UP3 Manado Jalin Kerjasama Ketersediaan Listrik di Wilayah yang Butuh Perhatian Khusus