Artikel
Talise Menangis, Nelayan Bangkit
Penulis: Emon Kex Mudami

Di atas laut yang dulu tenang,
matahari belum sempat berpamitan,
ketika asap hitam menoreh cakrawala
dan jerit terhempas di gelombang luka.
Barcelona terbakar di jantung Talise,
dada lautan mendidih menelan waktu,
logam dan tubuh beradu dalam api
sementara waktu mencatat: tak semua sempat selamat.
Tapi bukan hanya tragedi yang lahir petang itu—
nelayan-nelayan bangkit dari dermaga sunyi,
mereka bukan tentara, tak berseragam gagah,
namun hati mereka: pelampung untuk jiwa-jiwa yang nyaris hilang.
Dengan sampan dan jaring yang biasa merangkul ikan,
kini mereka rangkul nyawa dan harapan,
mereka mendayung bukan untuk hasil,
melainkan untuk manusia.
“Cepat! Ada yang terapung! Ada yang diam tak bersuara!”
teriakan itu lebih nyaring dari kobaran kapal,
lebih dalam dari isak laut yang tak bisa memilih
siapa yang kembali, siapa tinggal di dasar sepi.
Air mata bercampur asin gelombang,
tangan-tangan garam menjangkau tubuh lemah,
dan malam pun mencatat nama-nama nelayan
yang hari itu menjelma pelita bagi yang nyaris padam.
Bagi yang selamat—
ada pelukan, ada tangis yang tak sempat dimaknai.
Bagi yang gugur—
ada doa melintasi angin, dibawa ombak menuju sunyi.
Talise, kau menangis,
tapi anak-anakmu tidak lari.
Mereka berdiri,
mereka menyelamatkan,
mereka tak akan dilupakan.(*)
